Setengah benci, selebihnya cinta

>> Thursday, June 16, 2011

Cinta dan benci. Betapa dua kata itu menjadi sulit dipisahkan ketika jalan takdir menuntunnya untuk mengenal pria tersebut. Pria yang entah dengan apa harus ia sebut. Pria yang entah dengan apa harus ia yakinkan hatinya. Karena hati itu tidak pernah utuh merasa. Sesekali cinta. Selebihnya benci. Ada separuh bahagia ketika ia menyebut nama pria itu. Tapi sejurus kemudian sesal datang menikung pada persimpangan paling curam. Di situ ia mulai merasa kalah. Apa yang dibangunnya selama ini sia-sia. Selayak benteng yang mampu hancur oleh sekepal lemparan tanah. Ternyata benteng yang ia bangun tak pernah sekokoh itu.

Cinta dan benci. Pernah ia coba memisahkan keduanya. Ia tempatkan cinta pada nampan berukuran besar, lalu sisanya diselipkan benci. Tapi rasa, sama seperti keinginan. Adalah sesuatu yang jauh dari jangkauan. Tak mampu dibatasi oleh hitungan sederhana manusia. Maka lagi-lagi ia merasa kalah. Merelakan hatinya yang separuh bahagia, dan selebihnya cacat itu menjalani hidup.

Hatinya ternyata masih terluka. Sayatan itu terkadang sembuh, lalu seketika muncul luka baru. Setiap kali ia mengingat pria itu, tambahan luka malah bertambah satu. Ia lelah hingga harus menengadahkan kepala pada langit setiap hujan turun. Berharap air dari langit yang tanpa limit itu mampu membasuh sepertiga saja dari lukanya. Biarlah sisanya ia coba sembuhkan sendiri. Ia tetap akan butuh bantuan. Tapi hujan malah datang membawa petir. Kilatan cahaya perak dengan suara yang menggelegar membuatnya harus menutup telinga berkali-kali. Suara petir yang malah terdengar memanggil nama pria itu. Lalu luka baru bertambah satu.

Ia bosan. Merasa kadang hidupnya begitu baik-baik saja.

Tentu saja hidupnya sempurna. Lihat betapa ia mempunya pekerjaan yang stabil, para sahabat yang tak pernah menolak diajak bersenang-senang, juga ibu yang tak pernah bosan menceritakan kisah 1001 malam.

Tapi lalu “benci” berteriak.

“Aku masih di sini. Menempati separuh hatimu. Bahkan tak berkurang sedari dulu.”
Ia terdiam. Mendapati dirinya belum mampu memaafkan. Ia bahkan tak berani menyebut nama pria itu. Ia rindu. Rindu hingga menangis. Tapi air mata malah berubah jadi kerikil batu. Yang kembali jatuh pada celah-celah hatinya. Hanya menambah perih, isaknya.

“Aku hanya ingin dua puluh tahun ini terbayar. Walau hanya dengan sebuah pelukan. Tapi itu berarti, harus ia yang datang kepadaku. Memeluk sambil mengelus rambut yang selalu kubirkan tergerai.”


Lalu pagi bertambah satu. Tentu tak akan genap dua puluh tahun. Waktu berjalan, tak pernah melambat. Tersisa dua orang yang tak pernah rela menerima kehilangan. Dengan luka yang tak pernah ingin mereka sembuhkan.


Kangen papa :)

0 comments:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP