Ibu nomor satu

>> Friday, October 21, 2011

Untuk para single, mungkin ada beberapa yang agak risih dengan pertanyaan "kapan nikah?". Apalagi jika hal itu ditanyakan oleh orang-orang terdekat.

Dan lalu saya sadar. Setiap tahunnya usia saya tentu bertambah. Di setiap pertambahan usia, begitu banyak ucapan selamat yang dikirimkan. Doa-doa yang selalu saya amini dengan sepenuh hati. Oleh karenanya saya selalu bersemangat menunggu hari jadi. Bersemangat menunggu doa-doa dari orang tersayang. Meski saya tahu mereka tentu tidak hanya mendoakan tiap satu tahun sekali. Doa untuk orang tersayang akan selalu terucap setiap saat. Setiap waktu.

Pun lalu beberapa teman dekat mulai mengajukan pertanyaan serupa. "Kapan Nikah?". Pertanyaan yang saya tahu adalah sebagai bentuk perhatian mereka terhadap saya. Pertanyaan yang saya tahu akan selalu terus ditanyakan hingga mereka benar-benar mengetahui kapan tepatnya saya menikah. Pertanyaan yang saya tahu akan selalu saya dengar karena di setiap pertambahan usia, saya masih saja sendiri.

Saya memang tidak terlalu ambil pusing dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan seperti itu tidak akan membuat saya kesal. Dan saya masih bisa menanggapinya dengan candaan ringan.

Tapi tetap saja terasa berbeda jika yang menanyakan adalah nenek saya. Sejak bayi, saya memang sudah tinggal dengan beliau. Orang tua harus bekerja di luar jawa kala itu. Dan nenek sudah seperti ibu saya sendiri.

Tahun ini adalah kali pertama beliau menanyakan hal tersebut. Saya yang masih merasa unyu ini dibilang sudah tidak muda lagi. Dan saya merasa sepertinya beliau mulai khawatir.

Setelah itu mama saya menelephone. Mengucapkan selamat ulang tahun dan memanjatkan doa-doa terbaik untuk putri satu-satunya. Dan setelahnya saya berkata.


"Ma, aku udah tua ya."


"Ga lah, kamu masih muda banget. Masih pengen ngelanjutin kuliah kan? Katanya masih pengen jalan-jalan keliling Indonesia."

Ah iya. Saya ingat. Beberapa hari sebelum keberangkatan mama untuk pindah ke luar jawa, saya sempat menyatakan keinginan untuk melanjutkan sekolah lagi.

"Ma, setelah lulus nanti, kalau memungkinkan, aku mau ngelanjutin kuliah lagi."

Mama pun terdiam. Saya mengira beliau akan berkata,


"Ko ngelanjutin lagi. Kapan nikahnya?"


Ternyata tidak. Pada saat itu mama lalu berkata.


"Iya, mumpung kamu masih muda."


Saya merasa beruntung. Sangat beruntung. Saya lalu teringat akan seorang teman yang selalu dijodoh-jodohkan entah sudah dengan berapa pria oleh orang tuanya karena khawatir jika putrinya telat menikah. Saya beruntung diberi kebebasan untuk memilih apa yang saya inginkan. Saya beruntung, mama termasuk orang yang percaya bahwa selain jodoh harus diusahakan, ia pun telah ditetapkan jauh-jauh hari. Dan hanya akan datang di waktu yang tepat.

Percakapan di telephone berlanjut.

Lalu saya mengajukan pertanyaan lain.


"Mama ga tanya kapan aku nikah? Kaya yang lain?"


Saya dapat mendengar mama tertawa kecil. Lalu menjawab.


"Mama ga akan nanya itu, karena mama tahu, kamu hanya akan menikah jika jodohmu sudah datang nanti. Mungkin mama akan khawatir jika dalam beberapa tahun ke depan kamu belum juga menikah. Tapi kembali pada keyakinan. Semua udah ada yang ngatur kan?"


Ah, mama. Saya tahu mama sebenarnya khawatir. Tapi saya lebih tahu, mama pasti tidak ingin membuat saya resah dengan pertanyaan itu. Mama tentu tahu bahwa saya pun ingin menikah secepatnya. Tapi saya yakin mama lebih tahu bahwa jodoh adalah hal yang tak akan bisa ditawar.

Lalu kami pun melanjutkan percakapan. Hingga tiba-tiba saya kehilangan kata-kata ketika mama berkata.


"Kapan terakhir kamu ngaji? Mama kayanya udah lama ga pernah denger kamu mengaji."


Ah iya. Entah kapan terakhir saya mengaji. Mungkin pada malam jumat yang entah kapan bersama kelompok ibu-ibu pengajian. Yang jelas, sejak memutuskan bekerja sambil meneruskan kuliah kemarin, saya merasa sudah begitu sibuk untuk mengaji rutin seperti yang dulu saya lakukan ketika tinggal bersama nenek.

Saya tahu mama bangga dengan keadaan saya sekarang. Semua orang tua selalu merasa bangga dengan apa pun yang telah dicapai anak mereka kan? Tapi saya tahu, mama akan lebih bahagia jika saya pun lebih memperhatikan urusan saya dan Tuhan. Untuk keseimbangan hidup katanya, seperti yang pernah beliau katakan dalam suratnya ketika saya masih duduk di kelas tiga sekolah dasar.


Karena salah satu dari tiga amalan yang tidak akan pernah putus adalah doa dari anak yang Soleh.




Terimakasih untuk masih selalu mengingatkan. Meskipun saya seharusnya sudah tidak perlu diingatkan lagi untuk hal seperti itu.





Terimakasih mama. Ibu nomor satu.

Read more...

Ketika hubungan hanya menjadi rutinitas

>> Sunday, October 9, 2011

"Aku selalu takut kelak terjebak dalam sebuah hubungan yang hanya menjadi sekedar rutinitas. Seperti menyesap kopi di pagi hari tanpa pernah tahu untuk apa. Hanya rutinitas."


Mungkin saya jahat. Tidak berperasaan. Tak bisa menjaga komitmen. Tapi, yang paling ingin saya lakukan sekarang adalah berteriak kencang-kencang di telinganya, telinga pacar saya tentu, kalau saya sudah bosan setengah mati.

Dari awal hubungan kami, saya yang lebih banyak bicara. Lebih banyak mengerti. Sampai pada satu titik saya merasa, dia seperti menuntut saya untuk terus seperti itu sementara ia tidak menuntut hal yang sama terhadap dirinya sendiri.

"Ya, aku kan emang begini dari dulu. Kalo mau ya sukur, kalo ngga ya udah."

Ah, lihat betapa egoisnya dia. Terang-terangan dia menantang saya untuk "udah" jika kelak saya lelah mengerti.

Sewaktu sekolah, seorang guru sosiologi pernah berkata pada saya. Kita tidak akan bisa selalu menuntut orang lain sepenuhnya mengerti kita, dan jika mereka tidak mau mengerti kita bisa begitu saja menyudahi hubungan baik yang telah terjalin. Take and give. Memberi dan menerima. Karena apa? Karena manusia adalah makhluk sosial, yang msu tidak mau, harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan yang di dalamnya terdapat begitu banyak orang dengan karakteristik berbeda.

Jika hidup diibaratkan sebuah timbangan, maka memberi dan menerima harusnya berada pada kedua sisi dan hampir mendekati seimbang. Tidak kemudian lebih berat di salah satu. Sehingga yang lain kelamaan akan merasa lelah. Jenuh. Dan bosan.

Maka ketika telephone, sms, dan pertemuan-pertemuan itu pada akhirnya hanya menjadi rutinitsas untuk menunjukan kalau saya dan dia masih terikat dalam satu komitmen dan sedang sama-sama menuju titik yang lebih jauh, saya merasa tidak lagi bisa bertahan terlalu lama. Saya lelah. Bosan. Jengah. Jenuh. Dan lekas-lekas ingin pergi



Sebut saya wanita yang tidak bisa menjaga komitmen. Tapi saya jengah. Bosan. Lelah. Dan ingin pergi.

Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP