Aira dan kenangan

>> Thursday, June 2, 2011

Hujan sudah turun pagi ini. Angin kencang menghempas jendela. Petir bersahutan. Sementara matahari belum ada tanda hendak menampakkan diri. Padahal kemarin, pada jam yang sama cuaca sudah begitu hangat.

Sudah hampir satu jam. Hujan kini menyisakan rintik yang menyentuh tanah-tanah tergenang. Sesekali menciptakan gemericik yang terdengar pilu. Saat seperti ini adalah waktu di mana masa lalu biasa datang menelusup menempati sudut-sudut hati. Masa lalu yang kemudian kita sebut kenangan.

Selalu ada satu ruang dalam setiap kenyataan. Ruang yang terpisah sekat tipis dan menjadi bagian dari hidup. Dalam ruang itulah kenangan lalu terkumpul. Dan setiap hujan yang turun, entah bagaimana caranya, selalu mampu melebur batas itu. Membuat kenangan tak lagi berdiam pada ruang semestinya. Ia berebutan memaksa keluar. Lalu meledak-ledak dalam bilik ingatan. Terkadang membuat rindu. Tak jarang menyisakan pedih. Dan kita tak mempunyai pilihan kecuali larut di dalamnya.

Kenangan. Mungkin itu pula yang tengah menghinggapi wanita di hadapanku. Namanya Aira. Usianya ada di penghujung dua puluhan. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Payung yang juga berwarna hitam tertutup rapat di sampingnya. Ia duduk menghadap sebuah makam. Makam suami yang telah pergi mendahuluinya sejak tiga tahun lalu.

Aku selalu melihatnya di pemakaman ini. Pagi-pagi sekali ia sudah tiba. Aku sampai hapal bagaimana cara Aira menggelar tikar, berdoa, dan mengusap-usap nisan di hadapannya. Sesekali kulihat ia bercerita, lalu tertawa, tak jarang ditimpali tangis. Aku seperti terhipnotis. Ada sakit luar biasa dalam setiap gerak tubuhnya. Sakit akan kehilangan. Sakit akan perasaan-perasaan dingin yang menyerangnya setiap malam. Sakit akan kenangan yang seolah tak peduli ketika menggerogoti kekuatannya untuk bertahan dalam kesepian.

Kehilangan selalu terasa berat. Ada yang kita lupa seusai mendapatkan. Bahwa yang datang kelak pasti pergi. Ia lalu meninggalkan sesuatu. Entah mimpi, harapan, dan tentu saja kenangan. Kenanganlah yang kemudian mengambil porsi paling banyak.

Tapi melepaskan kenangan, sama saja merelakan seluruh dari hatinya tertanam bersama jasad dalam makam itu. Ia rindu melewatkan pagi. Ia ingin kembali luruh menyaksikan senja. Ia berharap selamanya itu ada. Tapi lagi-lagi, sejarah tentu nyata. Dan kita tak mungkin terkurung di sana. Bagaimana pun hidup terus berjalan. Walau ia memapahmu dengan perih dan sakitnya.

Tapi hidup bagai berhenti di satu titik bagi Aira. Berhenti sejak pertama nisan itu tertanam bersama jasad orang yang paling dicintainya. Aira merindukan pria itu. Ia merindukannya seperti rindu pagi pada matahari agar daun-daun mampu berfotosintesis. Agar hangat bisa menjalari setiap jengkalnya. Aira rindu rasa itu. Kini setiap pagi bagai serupa. Dingin. Walau matahari bersinar terik. Mataharinya telah lama mati. Tersisa Aira yang tak sanggup merelakan kenangan. Ia terperangkap kala hujan membaurkan sekat pada kenyataan.

Aku masih berdiri. Terpaku. Tak sanggup beranjak meninggalkan Aira dengan semua perih yang ia telan sendiri. Matanya sembab. Pandangannya kosong. Aira sesekali menghela napas panjang. Lalu memejamkan mata.

Perih, luka, dan sakit itu semestinya menguatkan. Tapi Aira malah berkutat pada nyeri yang tak kunjung usai. Ia tak butuh pelukan. Ia sudah lupa apa rasanya kecupan. Yang ia ingat adalah bagaimana kesepian selalu menyergap kekuatan yang tak pernah sanggup ia bangun.

Hujan tiba-tiba turun. Aira menengadahkan kepala ke langit. Menerima dengan tulus rintikan air yang membasahi wajah layunya. Rintik yang kemudian menyentuh tanah seiring air mata yang sudah deras sedari tadi.

Aku melangkah mendekati Aira. Matanya semakin merah. Aku dapat melihat bibirnya gemetar kedinginan. Kulit tangannya hampir beku dan memucat. Aku lalu membelai rambut yang tak lagi bisa kubelai. Mengecup bibir yang tak lagi bisa kukecup. Merengkuh tubuh yang sama sekali tak lagi bisa tersentuh. Aku berbisik padanya...




“Apa perasaanmu kini Aira? Percayalah bahwa matahari selalu bisa menghangatkan. Itu janjinya pada semesta. Seperti ia yang kelak datang dalam hidupmu. Matahari lain, Aira. Matahari lain yang dapat memberi lagi sekat antara kenangan dan kenyataan....”

“Karena kenangan pada kenyataan itu berada dalam satu ruang yang terpisah oleh sekat tipis. Ia mampu luruh oleh hujan yang tiba-tiba datang. Maka ketika batas itu menjadi samar, jangan sampai kenangan mengurungmu dalam ingatannya. Berjalanlah walau tertatih atau sesekali kau harus tersungkur. Hidup tetaplah hidup. Dan kenangan harus selalu tersimpan rapi dalam tempat semestinya. Tengoklah ia sesekali. Untuk meyakinkan kau pernah indah berada di dalamnya. Bahwa semua perih, luka, kecewa, kehilangan, tawa dan bahagia ternyata mampu menguatkan. Selalu menguatkan.”

2 comments:

wahyuseptiarki June 2, 2011 at 11:19 PM  

Yuk, apapun kejadiannya, pasti semua baik, selalu baik, dan akan semakin baik. Tunggulah hikmahnya. Let's move on. :D

Capella June 4, 2011 at 8:49 AM  

all is well ya mas gitar :)

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP