Aku dan Gadis Kecil

>> Thursday, November 10, 2011

"Kelak hidup hanya lah berputar mengenai melepaskan. Dan siapa pun, cuma akan bergerak menuju kehilangan."

Ah, tentu bukan seperti itu kalimat yang terucap dari gadis kecil di sampingku. Gadis ini, entah sudah berapa hari bajunya tidak dicuci. Kalau pun dicuci, mungkin ia tidak menggunakan detergen atau sabun karena bajunya masih sangat kotor dan meninggalkan bercak noda di mana-mana.

Ya, bajunya memang kotor. Rambutnya pun entah sudah berapa hari tak disentuh shampo. Atau mungkin ia sudah lupa kapan terakhir kalo rambutnya terciun wangi karena cairan tersebut. Tapi tidak jika kau lihat matanya. Mata bening khas anak kecil. Mata yang bersinar menari-nari. Mata yang dulu pasti pernah juga aku miliki.

Tentu ia hanya berucap beberapa kalimat sederhana. Tapi aku mengartikannya sepertu itu. Ada kalanya kehilangan justru membuat kita menjadi lebih kuat, bukan? Tentu saja, untuk menjadi kuat tidak harus selalu mengalami kehilangan terlebih dahulu. Tapi ada kalanya, kehilangan membuat kita menjadi lebih tertempa dan menyadari, bahwa apa pun, hidup harus terus dijalani.

Jangan tanya dia mengenai kehilangan. Dia sudah kehilangan banyak hal dalam hidup. Hidup memberinya banyak pelajaran berharga.

"Nama kamu siapa?"

"Ucrit."

"Heh, nama asli?"

"Orang-orang dari dulu manggil gitu."

"Lah, nama kamu?"

"Rani, Kak."

"Oh."

Apa yang kau pikir ketika berhadapan dengan anak kecil yang sudah bisa berbicara mengenai hidup. Hidup yang sederhana di matanya. Hidup yang cuma untuk mencari uang supaya bisa mengganjal perutnya sendiri. Hidup yang hanya digunakannya untuk bertanya, apa besok ia masih bisa makan atau tidak. Karena yang ia tahu, selama ia bisa makan, selama itu lah ia kemudian bisa meneruskan hidup.

"Bapak ke mana?"

Dia menggeleng.

"Ibu?"

"Udah meninggal."

"Oh, maaf."

Dia diam.

Aku diam. Lama. Cuma menatap lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk menutup hari.

"Mau makan apa?"

"Uangku belum ngumpul, Kak. Nanti aja lah."

"Lah, ya bareng aku aja. Beli dua." aku menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan.

"Heh, ditraktir?" dia lekat menatap mataku.

Aku mengangguk pelan. Aku jengah dipandanginya seperti itu. Karena tiba-tiba dadaku sesak dan mendorong bulir air mata menggenang di ujung mata.

Dia kemudian datang. Membawa dua bungkus berisi nasi dan telur dadar.

"Kembaliannya." dia menyodorkan beberapa lembar uang seribuan.

"Heh, ko masih ada kembalian. Kenapa ga dibeliin semua?"

Dia menggeleng.

"Buat kamu aja."

Dia kembali menggeleng.

Dia makan lahap sekali. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali makan seperti itu. Pun lupa makanan enak apa yang terakhir membuatku se-bersyukur gadis di sebelahku.

"Besok aku ikut ngamen ya?"

"Heh, ngapain? Ga punya duit buat makan?" dia tertawa.

"Ya, nggak. Mau ikut aja. Jalan-jalan."

"Jalan-jalan ko ngamen?"

"Cerewet. Boleh ga?"

Dia tertawa. Kencang. "Emang bisa nyanyi?"

"Ga bisa sih. Emang mesti bisa nyanyi?"

"Lah ya gimana? Mau ngamen kan?"

Aku mengangguk.

"Mo nyanyi apaan emang?"

"Cheriebelle aja."

Dia kembali tertawa.

Di ujung tawanya dia berkata.

"Besok kalo mau ikut. Ga usah pake baju bagus-bagus ya. Sama ga usah dandan. Hahaha." dia kembali tertawa.

Read more...

Tentang saya, pengalaman membaca semasa kecil, dan gerakan #BukuBerkaki

Sejak kecil saya memang suka membaca. Ibu biasa membelikan berbagai macam buku, dimulai dari majalah anak-anak, komik, atau buku dongeng.

Di rumah, kebetulan kakek, nenek, dan tante saya juga suka membaca. Dari situlah, jika kebetulan buku saya telah habis dibaca, saya jadi terbiasa membaca buku apa saja yang ada di rumah. Buku yang sebenarnya kurang sesuai dengan usia saya.

Sejak Sekolah Dasar, saya sudah rajin membaca cerpen di majalah remaja. Sejak kecil saya sudah menikmati membaca puisi karena kakek memiliki beberapa buku koleksi Jalaludin Rumi. Atau bagaimana saya begitu tertarik dengan buku mengenai segitiga bermuda. Bahwa sejak kecil, ternyata saya sudah menggemari novel horor.

Bukan berarti karena itu saya jadi tidak suka membaca buku anak-anak. Saya masih tetap meminta pada ibu untuk dibelikan majalah Bobo, komik Donald Bebek, dan beberapa dongeng anak lainnya.

Di daerah tempat saya tinggal, belum pernah ada tempat yang menyewakan bahan bacaan. Baru ketika SMA, ada tempat yang menjual dan menyewakan berbagai macam buku. Dari mulai komik, novel, majalah, dan lain-lain.

Di situlah lalu saya mulai gemar mengkoleksi komik. Komik yang koleksi waktu itu adalah serial Detective Conan. Kisah seru si Detective yang berubah dari wujud anak SMA menjadi anak kecil itu masih saya nikmati sampai sekarang.

Maka dari itulah, saya sangat tertarik ketika membaca artikel Butterbee, mengenai mimpinya untuk bisa melakukan sesuatu dengan #NgamenBuatBangsa dan #Ruang baca.

Untuk #RuangBaca sendiri, karena ternyata nama itu telah dipakai terlebih dahulu oleh pihak lain, maka atas kesepakatan bersama diubah menjadi #BukuBerkaki.

Kenapa harus #BukuBerkaki? Karena dalam harapan kami, rencananya, untuk penyaluran semua buku bacaan ini akan dilakukan dari satu panti ke panti lain.

Di luar sana, saya percaya, banyak juga anak yang gemar membaca buku tapi terhalang oleh sarana yang mungkin hampir tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, #BukuBerkaki ingin sekali menyediakan sarana berupa buku bacaan yang sesuai dengan minat dan usia si pembacanya.

Saya dan beberapa krucil yang lain (@shelvywaseso, @alfakurnia, @novelyzius, @andiana, @jenkplanet), menerima sumbangan dalam bentuk buku, uang, dan tenaga untuk bersama-sama menemani anak-anak di panti kelak. Kita bisa mendongeng bersama atau mengajak mereka bermain sambil belajar.

Sumbangan dalam bentuk buku bisa berupa dongeng cerita anak, majalah, komik, novel teenlet untuk yang berusia sampai 17 tahun, atau bahkan buku pelajaran dan semua buku ilmu pengetahuan.

Untuk sumbangan dalam bentuk buku, bisa dialamatkan ke :



Ria Soraya

Komp. Graha Asri Sektor Lavender Jl. Ciherang Timur Blok. SS No. 6

Simpangan - Cikarang



Dan untuk sumbangan berupa uang bisa melalui nomor rekening :



CIMB Niaga Syariah

520 - 010- 938 - 7116

Atas nama : Diana Siti Khadijah





Semoga semua niat baik tidak berhenti sampai di niat saja :)

Semoga selalu ada jalan untuk mewujudkannya. Amin :)

Jadi, apa kenanganmu dengan buku semasa kecil :)

Selamat hari jumat semuanya :)

Read more...

Ibu nomor satu

>> Friday, October 21, 2011

Untuk para single, mungkin ada beberapa yang agak risih dengan pertanyaan "kapan nikah?". Apalagi jika hal itu ditanyakan oleh orang-orang terdekat.

Dan lalu saya sadar. Setiap tahunnya usia saya tentu bertambah. Di setiap pertambahan usia, begitu banyak ucapan selamat yang dikirimkan. Doa-doa yang selalu saya amini dengan sepenuh hati. Oleh karenanya saya selalu bersemangat menunggu hari jadi. Bersemangat menunggu doa-doa dari orang tersayang. Meski saya tahu mereka tentu tidak hanya mendoakan tiap satu tahun sekali. Doa untuk orang tersayang akan selalu terucap setiap saat. Setiap waktu.

Pun lalu beberapa teman dekat mulai mengajukan pertanyaan serupa. "Kapan Nikah?". Pertanyaan yang saya tahu adalah sebagai bentuk perhatian mereka terhadap saya. Pertanyaan yang saya tahu akan selalu terus ditanyakan hingga mereka benar-benar mengetahui kapan tepatnya saya menikah. Pertanyaan yang saya tahu akan selalu saya dengar karena di setiap pertambahan usia, saya masih saja sendiri.

Saya memang tidak terlalu ambil pusing dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan seperti itu tidak akan membuat saya kesal. Dan saya masih bisa menanggapinya dengan candaan ringan.

Tapi tetap saja terasa berbeda jika yang menanyakan adalah nenek saya. Sejak bayi, saya memang sudah tinggal dengan beliau. Orang tua harus bekerja di luar jawa kala itu. Dan nenek sudah seperti ibu saya sendiri.

Tahun ini adalah kali pertama beliau menanyakan hal tersebut. Saya yang masih merasa unyu ini dibilang sudah tidak muda lagi. Dan saya merasa sepertinya beliau mulai khawatir.

Setelah itu mama saya menelephone. Mengucapkan selamat ulang tahun dan memanjatkan doa-doa terbaik untuk putri satu-satunya. Dan setelahnya saya berkata.


"Ma, aku udah tua ya."


"Ga lah, kamu masih muda banget. Masih pengen ngelanjutin kuliah kan? Katanya masih pengen jalan-jalan keliling Indonesia."

Ah iya. Saya ingat. Beberapa hari sebelum keberangkatan mama untuk pindah ke luar jawa, saya sempat menyatakan keinginan untuk melanjutkan sekolah lagi.

"Ma, setelah lulus nanti, kalau memungkinkan, aku mau ngelanjutin kuliah lagi."

Mama pun terdiam. Saya mengira beliau akan berkata,


"Ko ngelanjutin lagi. Kapan nikahnya?"


Ternyata tidak. Pada saat itu mama lalu berkata.


"Iya, mumpung kamu masih muda."


Saya merasa beruntung. Sangat beruntung. Saya lalu teringat akan seorang teman yang selalu dijodoh-jodohkan entah sudah dengan berapa pria oleh orang tuanya karena khawatir jika putrinya telat menikah. Saya beruntung diberi kebebasan untuk memilih apa yang saya inginkan. Saya beruntung, mama termasuk orang yang percaya bahwa selain jodoh harus diusahakan, ia pun telah ditetapkan jauh-jauh hari. Dan hanya akan datang di waktu yang tepat.

Percakapan di telephone berlanjut.

Lalu saya mengajukan pertanyaan lain.


"Mama ga tanya kapan aku nikah? Kaya yang lain?"


Saya dapat mendengar mama tertawa kecil. Lalu menjawab.


"Mama ga akan nanya itu, karena mama tahu, kamu hanya akan menikah jika jodohmu sudah datang nanti. Mungkin mama akan khawatir jika dalam beberapa tahun ke depan kamu belum juga menikah. Tapi kembali pada keyakinan. Semua udah ada yang ngatur kan?"


Ah, mama. Saya tahu mama sebenarnya khawatir. Tapi saya lebih tahu, mama pasti tidak ingin membuat saya resah dengan pertanyaan itu. Mama tentu tahu bahwa saya pun ingin menikah secepatnya. Tapi saya yakin mama lebih tahu bahwa jodoh adalah hal yang tak akan bisa ditawar.

Lalu kami pun melanjutkan percakapan. Hingga tiba-tiba saya kehilangan kata-kata ketika mama berkata.


"Kapan terakhir kamu ngaji? Mama kayanya udah lama ga pernah denger kamu mengaji."


Ah iya. Entah kapan terakhir saya mengaji. Mungkin pada malam jumat yang entah kapan bersama kelompok ibu-ibu pengajian. Yang jelas, sejak memutuskan bekerja sambil meneruskan kuliah kemarin, saya merasa sudah begitu sibuk untuk mengaji rutin seperti yang dulu saya lakukan ketika tinggal bersama nenek.

Saya tahu mama bangga dengan keadaan saya sekarang. Semua orang tua selalu merasa bangga dengan apa pun yang telah dicapai anak mereka kan? Tapi saya tahu, mama akan lebih bahagia jika saya pun lebih memperhatikan urusan saya dan Tuhan. Untuk keseimbangan hidup katanya, seperti yang pernah beliau katakan dalam suratnya ketika saya masih duduk di kelas tiga sekolah dasar.


Karena salah satu dari tiga amalan yang tidak akan pernah putus adalah doa dari anak yang Soleh.




Terimakasih untuk masih selalu mengingatkan. Meskipun saya seharusnya sudah tidak perlu diingatkan lagi untuk hal seperti itu.





Terimakasih mama. Ibu nomor satu.

Read more...

Ketika hubungan hanya menjadi rutinitas

>> Sunday, October 9, 2011

"Aku selalu takut kelak terjebak dalam sebuah hubungan yang hanya menjadi sekedar rutinitas. Seperti menyesap kopi di pagi hari tanpa pernah tahu untuk apa. Hanya rutinitas."


Mungkin saya jahat. Tidak berperasaan. Tak bisa menjaga komitmen. Tapi, yang paling ingin saya lakukan sekarang adalah berteriak kencang-kencang di telinganya, telinga pacar saya tentu, kalau saya sudah bosan setengah mati.

Dari awal hubungan kami, saya yang lebih banyak bicara. Lebih banyak mengerti. Sampai pada satu titik saya merasa, dia seperti menuntut saya untuk terus seperti itu sementara ia tidak menuntut hal yang sama terhadap dirinya sendiri.

"Ya, aku kan emang begini dari dulu. Kalo mau ya sukur, kalo ngga ya udah."

Ah, lihat betapa egoisnya dia. Terang-terangan dia menantang saya untuk "udah" jika kelak saya lelah mengerti.

Sewaktu sekolah, seorang guru sosiologi pernah berkata pada saya. Kita tidak akan bisa selalu menuntut orang lain sepenuhnya mengerti kita, dan jika mereka tidak mau mengerti kita bisa begitu saja menyudahi hubungan baik yang telah terjalin. Take and give. Memberi dan menerima. Karena apa? Karena manusia adalah makhluk sosial, yang msu tidak mau, harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan yang di dalamnya terdapat begitu banyak orang dengan karakteristik berbeda.

Jika hidup diibaratkan sebuah timbangan, maka memberi dan menerima harusnya berada pada kedua sisi dan hampir mendekati seimbang. Tidak kemudian lebih berat di salah satu. Sehingga yang lain kelamaan akan merasa lelah. Jenuh. Dan bosan.

Maka ketika telephone, sms, dan pertemuan-pertemuan itu pada akhirnya hanya menjadi rutinitsas untuk menunjukan kalau saya dan dia masih terikat dalam satu komitmen dan sedang sama-sama menuju titik yang lebih jauh, saya merasa tidak lagi bisa bertahan terlalu lama. Saya lelah. Bosan. Jengah. Jenuh. Dan lekas-lekas ingin pergi



Sebut saya wanita yang tidak bisa menjaga komitmen. Tapi saya jengah. Bosan. Lelah. Dan ingin pergi.

Read more...

Mengenai melepaskan

>> Saturday, August 6, 2011

Pada akhirnya saya baru mengerti, bahwa kita tak pernah benar memiliki apa pun. Semua hanyalah proses menuju kehilangan. Menuju melepaskan. Memaksa merelakan. Karena semua tak lebih dari beban yang kemudian memberatkan. Mempertahankan selalu lebih sulit dari mendapatkan. Tapi di atas semua itu, apa pun hanyalah mengenai melepaskan.

Hari ini tiba-tiba turun hujan. Ingatan saya lalu meluruh satu-satu. Mungkin, yang membuat saya menangis kemarin bukan hanya karena merindukan satu orang, tapi lebih kepada beberapa. Rindu aroma masakan ibu, rindu hidup saya yang tertata ketika masih tinggal bersamanya. Rindu pelukan ayah, yang bahkan saya sendiri tidak ingat, apa beliau pernah benar memeluk saya, atau itu hanya kenangan yang saya ciptakan.

Betapa kehilangan sudah menyergap tiba-tiba. Saya lengah. Belum bersiap. Hingga air mata lalu jatuh satu-satu. Saya bosan. Lelah. Sampai pada tahap ingin pergi.

Tapi lalu saya tersadar. Semua adalah mengenai melepaskan. Bahwa memiliki hanyalah beban yang lama-lama memberatkan. Bahwa bagaimanapun, semua kita harus mengakui garis takdir. Termiliki atau pun tidak, semua hanya mengenai melepaskan.

Maka lepaskanlah :)

Read more...

Tentang hati yang tak begitu luas

>> Thursday, August 4, 2011

Beberapa hari ini saya selalu menangis. Tiba-tiba saja. Entah itu ketika sedang duduk di depan layar monitor kantor. Atau tengah merapikan file berserakan. Bahkan ketika bos saya sedang ngomel di belakang.

Jika begitu, yang saya lakukan adalah mengambil beberapa lembar tisyu, kemudian pergi ke toilet. Tempat di mana saya bisa menangis sekencang-kencangnya tanpa ada yang khawatir melihat.

Seperti yang fay bilang. Kalau kadang hati kita tak seluas lapangan pinggir kali. Saya sendiri, pernagkah tahu seluas apa hati yang saya punya, untuk bisa memaknai bahwa hidup tidaik hanya mengenai tawa, tapi juga luka.

Saya menyayangi seseorang. Dan saya bahagia. Sangat bahagia sampai tiba-tiba, keinginan memiliknya sudah menyebar ke seluruh hati saya hingga pada sudut yang sulit dijangkau sekalipun. Saya mau dia. Dan saya baru saja merasakan betapa seringkali keinginanlah yang justru menyakiti kita. Membuat saya lupa bahwa kemungkinan untuk tidak mendapatkan akan selalu ada. Ya, saya lupa.

Read more...

Mencintaimu adalah keinginan

>> Wednesday, June 29, 2011

Tuhan,
Saat ini saya tengah jatuh cinta. Iya, untuk kesekian kalinya, saya lalu mempercayakan hati ini dititipkan pada seseorang, untuk kemudian-entah-akan ia apakan. Bisa saja ia membuatnya utuh ketika kelak mengembalikan pada saya. Atau sebaliknya, membuat retakan di beberapa bagian lalu meninggalkan saya yang pada akhirnya harus mati-matian menyembuhkannya.

Tapi Tuhan,
Entah mengapa padanya saya begitu percaya. Bukan, bukan karena ia tak pernah sekali pun membuat saya menangis. Ah iya, saya jadi teringat pada suatu hari. Di Senin pagi ketika kami hendak berpisah. Lalu karena sesuatu hal, saya kemudian menangis. Hanya menetes sedikit-demi-sedikit. Sebagian mungkin menggenangi mata saya. Tapi caranya memohon, caranya meminta saya menghentikan tangisan. Begitu apa adanya. Tidak pernah ada seorang pun yang memohon kepada saya seperti itu. Betapa saat itu saya berharap bisa membuat waktu berhenti. Lalu menangkap satu-demi-satu harapannya yang memenuhi ruang kamar. Untuk kemudian menempatkannya dalam petak ingatan saya. Agar penuh. Agar tidak lagi ada ruang bagi yang lainnya. Bagi kenangan yang lainnya.

Tuhan,
Saya pertama bertemu dengannya dalam suasana riuh.Kala itu hujan tengah deras-derasnya. Dan kami bertemu. Tanpa harap. Tanpa percakapan selain, apakabar. Tanpa apa-apa kecuali sapaan yang terdengar begitu biasa. Tanpa sedikit pun keinginan bahwa kelak yang entah kapan, kita mungkin akan dipertemukan kembali.

Tapi hidup sungguh lucu. Satu pertemuan yang tak direncanakan itu lalu menarik kami masuk ke dalam percakapan-percakapan ringan di pagi hari, dan kadang siang hari. Beberapa lainnya terjadi ketika malam. Semuanya masih seperti biasa hingga kami lalu bertemu untuk kedua kalinya.

Dan hidup memang benar-benar lucu. Entah mengapa ia lalu mempertemukan saya, dia, dan waktu yang begitu terbatasnya, juga jarak yang mengulur jauh-jauh. Membuat semua yang berputar-putar di dalamnya diikat oleh sebuah rasa, yang lalu ia sebut dengan cinta.

Dan Tuhan,
Mencintainya bagi saya bukanlah sebuah pilihan. Mencintainya adalah keinginan. Sesuatu yang mungkin jauh dalam diri saya, telah lama saya harapkan.

Dan tahukah Tuhan,
Saya pun ingin mencintainya dengan sederhana. Tanpa perlu membuat porsi dari pengharapan kelak melebihi cinta itu sendiri. Tanpa perlu menempatkan keinginan memilikinya berada di atas cinta itu sendiri. Agar kelak jika saya terpaksa harus merelakannya, maka saya akan tetap menempatkannya dalam kenangan nomor satu. Sebagai seseorang yang akan menempati tempat seluas-luasnya dalam hati saya. Meski hanya sebuah kenangan.

Hey kamu,
Saya hanya ingin mencintaimu, dengan melepaskan sebanyak-banyaknya keinginan untuk memilikimu.
Karena mencintaimu bagi saya bukanlah sebuah pilihan. Mencintaimu adalah keinginan. Sesuatu yang mungkin jauh dalam diri saya, telah lama saya harapkan. Dengan, atau tanpa memilikimu.

Read more...

Setengah benci, selebihnya cinta

>> Thursday, June 16, 2011

Cinta dan benci. Betapa dua kata itu menjadi sulit dipisahkan ketika jalan takdir menuntunnya untuk mengenal pria tersebut. Pria yang entah dengan apa harus ia sebut. Pria yang entah dengan apa harus ia yakinkan hatinya. Karena hati itu tidak pernah utuh merasa. Sesekali cinta. Selebihnya benci. Ada separuh bahagia ketika ia menyebut nama pria itu. Tapi sejurus kemudian sesal datang menikung pada persimpangan paling curam. Di situ ia mulai merasa kalah. Apa yang dibangunnya selama ini sia-sia. Selayak benteng yang mampu hancur oleh sekepal lemparan tanah. Ternyata benteng yang ia bangun tak pernah sekokoh itu.

Cinta dan benci. Pernah ia coba memisahkan keduanya. Ia tempatkan cinta pada nampan berukuran besar, lalu sisanya diselipkan benci. Tapi rasa, sama seperti keinginan. Adalah sesuatu yang jauh dari jangkauan. Tak mampu dibatasi oleh hitungan sederhana manusia. Maka lagi-lagi ia merasa kalah. Merelakan hatinya yang separuh bahagia, dan selebihnya cacat itu menjalani hidup.

Hatinya ternyata masih terluka. Sayatan itu terkadang sembuh, lalu seketika muncul luka baru. Setiap kali ia mengingat pria itu, tambahan luka malah bertambah satu. Ia lelah hingga harus menengadahkan kepala pada langit setiap hujan turun. Berharap air dari langit yang tanpa limit itu mampu membasuh sepertiga saja dari lukanya. Biarlah sisanya ia coba sembuhkan sendiri. Ia tetap akan butuh bantuan. Tapi hujan malah datang membawa petir. Kilatan cahaya perak dengan suara yang menggelegar membuatnya harus menutup telinga berkali-kali. Suara petir yang malah terdengar memanggil nama pria itu. Lalu luka baru bertambah satu.

Ia bosan. Merasa kadang hidupnya begitu baik-baik saja.

Tentu saja hidupnya sempurna. Lihat betapa ia mempunya pekerjaan yang stabil, para sahabat yang tak pernah menolak diajak bersenang-senang, juga ibu yang tak pernah bosan menceritakan kisah 1001 malam.

Tapi lalu “benci” berteriak.

“Aku masih di sini. Menempati separuh hatimu. Bahkan tak berkurang sedari dulu.”
Ia terdiam. Mendapati dirinya belum mampu memaafkan. Ia bahkan tak berani menyebut nama pria itu. Ia rindu. Rindu hingga menangis. Tapi air mata malah berubah jadi kerikil batu. Yang kembali jatuh pada celah-celah hatinya. Hanya menambah perih, isaknya.

“Aku hanya ingin dua puluh tahun ini terbayar. Walau hanya dengan sebuah pelukan. Tapi itu berarti, harus ia yang datang kepadaku. Memeluk sambil mengelus rambut yang selalu kubirkan tergerai.”


Lalu pagi bertambah satu. Tentu tak akan genap dua puluh tahun. Waktu berjalan, tak pernah melambat. Tersisa dua orang yang tak pernah rela menerima kehilangan. Dengan luka yang tak pernah ingin mereka sembuhkan.


Kangen papa :)

Read more...

Cermin Separuh Wajah

>> Wednesday, June 15, 2011

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yang pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Sudah hampir tiga puluh hari dan ia masih tak mau beranjak dari kamar yang ditinggalinya. Kamar yang selalu ia biarkan gelap kecuali ketika sinar matahari memaksa masuk menelusup melalui tirai dengan celah sedikit terbuka. Kamar yang sekilas sama seperti kamar-kamar pada umunnya. Hanya satu yang terlihat berbeda. Di dalam kamarnya terdapat sebuah cermin besar, terletak di pojok ruangan. Cermin yang dipinggirnya dihiasi oleh ukiran kayu berwarna coklat tua. Pun dengan penyangga yang juga terbuat dari kayu, menunjukkan betapa cermin itu menjadi benda paling menarik perhatian di antara penghuni kamar lainnya. Cermin yang seolah mampu menyerap satu-satunya kehidupan di dalam kamar itu. Hidupnya.

Ia sendiri tak pernah berani menghadap cermin berlama-lama. Padahal seperti pada umumnya, cermin hanya mampu memantulkan apa yang tertangkap oleh cermin itu sendiri. Cermin berukir kayu itu pun hanya mampu memantulkan separuh bayangan tempat tidur beserta meja hitam yang terletak di sampingya. Atau bayangan tirai jendela yang berwarna abu-abu. Serta benda-benda lain yang terdapat dalam kamar tersebut. Tapi ia seperti melihat bayangan lain setiap menghadap cermin. Bayang seorang gadis yang pernah sangat dicintainya. Bayangan Raya.

Bayangan Raya selalu tersenyum setiap ia meluruskan pandangan menghadap cermin. Padahal ia sendiri tahu, Raya hanya sebuah kenangan yang seharusnya telah lama tertinggal di masa lalu. Tak mungkin kemudian sebuah cermin mampu memantulkan keping tersebut. Seandainya bisa, mungkin ia lebih memilih masuk ke dalamnya. Melompat lalu mengumpulkan puzzle-puzzle yang berceceran. Sehingga bayangan Raya bisa kembali utuh. Tidak hanya terpantul separuh senyum, mata atau rambutnya yang terurai berwarna hitam. Hal-hal yang selalu membuatnya rindu pada masa lalu.

Ia rindu gadis itu. Rindu pada surat-surat yang selalu dikirimkannya. Raya selalu suka membuat ia tersenyum kala mendapat sebuah surat yang diselipkannya, entah pada kotak makan, tas kerja, atau ketika ia membuaka notebook di pagi hari. Pada awalnya ia merasa biasa. Sapaan itu, cerita-cerita ringan yang selalu Raya bagi, atau ketika gadis itu sekedar mengingatkan mengenai pola makannya yang buruk.

Pada awalnya ia merasa biasa. Hingga kemudian, tak lagi ia temukan sebuah surat terselip pada kotak makan. Ia resah dan mencari ke dalam sela-sela tas kerja. Ia panik sampai mengeluarkan semua isinya. Tapi tetap tak ia temukan. Terakhir ia berharap akan menemukannya saat membuka notebook di pagi hari. Tapi surat itu tetap tak ada. Matanya sejurus memandangi sebuah cermin yang berada di pojok ruangan.Yang kemudian, di sisi sebelah kanannya terselip sebuah surat dengan amplop berwarna merah. Amplop yang di depannya terdapat tulisan tangan Raya. Baru ia merasa tenang.

Ia mengambil amplop tersebut. Membuka perlahan surat yang terlipat rapi. Berharap ada kejutan atau sesuatu yang akan membuatnya lebih bersemangat dalam menjalani hari yang penat. Tapi ternyata ia benar-benar mendapat kejutan. Surat itu hanya berisi sebuah kalimat singkat. Kalimat yang terlalu singkat malah. Kalimat yang hanya terdiri dari dua kata.

“Aku Pergi…”

Ia terpaku. Memandang cermin yang memantulkan utuh bayangnya. Ia tiba-tiba kehilangan kendali. Gravitasi bumi seolah terhenti. Membuat semua benda di sekitarnya menjadi tak beraturan. Sekilas ia melihat bayang gadis itu muncul. Bergantian. Bayang yang tak pernah lagi utuh. Hanya separuh senyum, mata, atau rambutnya yang terurai berwarna hitam. Sejak saat itu ia tak mampu menghadirkan bayangan utuh Raya. Susah payah ia mencoba mengingat, apalagi ketika rindu. Tapi tetap saja yang muncul hanya potongan sketsa wajah. Tak lebih. Dan ia hampir putus asa.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yang pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Ia lelah. Lelah mendapati dirinya belum mampu melupakan Raya. Lelah karena tak bisa melewatkan hari tanpa menunggu surat-surat yang biasanya terselip pada kotak makan, sela-sela tas kerja, atau di dalam notebook setiap pagi.

Ia lelah. Lelah menunggu Raya kembali. Berharap gadis itu merindukan hari-hari yang pernah mereka lewati. Tapi Raya, seperti pesan yang diselipkannya di sisi cermin, hanya mengatakan bahwa ia akan pergi. Pergi tanpa pernah berkata bahwa kelak akan kembali. Ia seharusnya tahu, bahwa dengan itu harus belajar menjalani hidup tanpa Raya. Tapi hidup bagai berhenti di satu titik. Tidak bergerak. Dan cermin dalam kamar inilah yang menjadi satu-satunya saksi betapa kehilangan bisa membuat seseorang menjadi tidak waras.

Ia teringat sebuah percakapan dengan Raya di pagi hari. Ketika matahari baru saja muncul dengan warna merah keemasan.

“Suatu hari aku pasti pergi.” Ucap Raya tanpa berani memandang lawan bicara.

“Kenapa?”

“Karena tanpa aku pun, kau akan tetap hidup. Harus tetap hidup.”

Tiga hari setelah menerima surat terakhir Raya, ia mendengar kabar gadis itu telah meninggal. Benar-benar meninggalkannya. Raya melompat dari apartementnya di lantai 22. Tubuhnya hancur terhempas ke permukaan. Seorang saksi yang berada pada tempat kejadian mengatakan tubuh Raya melayang seringan kapas. Menuruni dari lantai 21, 20, 19, terus hingga akhirnya menukik tajam menyentuh permukaan. Dengan darah yang seketika menghitam di sekitar tubuhnya.

Apa yang ada dipikiran Raya saat itu? Mengapa ia memilih mengakhiri dengan hidup dengan cara seperti itu? Bahkan Raya selalu terlihat ceria setiap kali bercerita lewat surat-surat yang diterimanya setiap hari. Hingga kemudian Raya berkata bahwa ia akan pergi. Dan ia pun harus mampu hidup tanpa Raya. Tanpa surat-surat yang sudah seperti candu baginya. Ia harus tetap hidup.

Tapi bagaimana ia bisa tetap hidup jika seluruh hidupnya hanya bertumpu pada surat-surat pemberian Raya? Jika dalam surat itu ia temukan semangat. Menemukan cinta. Menemukan warna-warni yang hanya bisa dilihatnya lagi pada pelangi. Bagaimana ia bisa tetap hidup jika perlahan ia menggantungkan hidup pada kehadiran surat-surat Raya?

Dan bagaimana ia bisa tetap hidup jika sesungguhnya Raya adalah hidup itu sendiri?

Maka sudah tiga puluh hari sejak kepergian Raya. Tiga puluh hari ia tidak berani ke luar kamar. Ia tak lagi mau menghadapi hidup. Ia takut tak menemukan surat-surat pemberian Raya. Raya salah. Ia tak bisa hidup tanpa gadis itu. Raya bukan hanya mengambil sebagian besar hidupnya. Tapi pun seluruh hidup itu sendiri sebenarnya berpusat pada Raya. Dan apa yang harus ia lakukan ketika Raya memilih mengakhiri hidup, yang kala itu membawa serta seluruh hidupnya mati?

“Apa yang harus aku lakukan?” Ia bertanya pada cermin.

Cermin yang tiba-tiba terasa muram. Padahal cermin itu tetap memantulkan benda-benda yang terdapat dalam kamar tersebut. Mana mungkin sebuah cermin mampu melakukan hal lain. Tapi yang ia lihat bukanlah bayangan setengah tempar tidur beserta meja hitam di sebelahnya. Bukan pula tirai berwarna abu-abu. Bahkan bukan bayangan dirinya.

Ia melihat potongan-potongan kenangannya bersama Raya. Saat mereka tiba-tiba terbangun pada pagi di tempat yang sama. Saat ia melihat wajah Raya begitu cantik ketika bangun tidur. Saat ia memeluk Raya dari belakang menghadap cermin. Atau saat ia membukakan tirai jendela agar matahari mampu menyinari rambut hitam raya.

Lalu ia bertanya-tanya, bagaimana perasaan Raya ketika memilih mengakhiri hidupnya kala itu? Apakah ia tersenyum di setiap menuruni lantai hingga menyentuh permukaan? Apa ia merasa bebas? Benarkah ia seperti melayang seringan kapas? Ataukah wajahnya menampakan kecemasan. Takut jika ia benar-benar pergi, akan ada kehidupan lain yang menunggunya. Takut bahwa hidup tak hanya berhenti di situ. Tak hanya selesai sampai kematian.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yanh pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Pertama kalinya dalam tiga puluh hari, ia kemudian berani membuka tirai. Sinar matahari bebas masuk menerangi kamarnya. Ia memandang ke luar. Bertanya pada dirinya apakah setiap cermin hanya akan memantulkan wajah Raya?



Ia dapat merasakan tubuhnya melayang seringan kapas. Menuruni lantai 21, 20, 19 sambil tak pernah sedikit pun mengatupkan mata. Melihat dalam-dalam bayangan yang tertangkap dalam kaca setiap lantai yang ia lewati. Ia cemas. Cemas bukan karena sebentar lagi akan terhempas ke permukaan. Cemas bukan karena darah akan menghitam di sekitar tubuhnya yang hancur. Cemas bukan karena setelahnya ia akan merasakan tubuhnya dingin lalu mati rasa. Tapi cemas karena berapa pun lantai yang dilewatinya, tetap saja kaca-kaca itu malah memantulkan bayangan Raya. Bayangan Raya yang tak pernah utuh.

Ia dapat merasakan tubuhnya terhempas ke permukaan. Mungkin ini juga yang dulu dirasakan Raya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya dingin, sebelum benar-benar mati rasa. Ia masih bisa melihat darah yang menghitam.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yanh pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Read more...

Edisi rindu

>> Thursday, June 9, 2011

Membaca sebuah artikel yang menceritakan mengenai hubungan seorang anak dan ayah membuat saya menangis dan iri.

Tuhan, saya rindu papa. Rindu sekali. Entah apa yang sebenarnya membuat saya selalu menangis di setiap kali merindukannya. Mungkin saya iri dengan begitu banyak cerita yang seharusnya tercipta di antara kami. Mungkin saya iri karena kehilangan begitu banyak hari yang seharusnya bisa kami nikmati berdua.

Pa, sebentar lagi usia saya menginjak 24. Itu berarti sudah dua puluh tahun sejak pertemuan kita seusai maghrib itu. Saya masih ingat, ketika itu papa datang. Duduk di ruang tamu. Berbincang sebentar dengan mama. Lalu pulang.

Kenapa saya harus mewarisi sikap angkuh dan keras kepalamu? Sehingga untuk mengatakan rindu saja seperti tertahan di ujung lidah. Tahu tidak, yang paling ingin saya lakukan sekarang adalah datang. Mengetuk pintu rumahmu. Lalu memeluk papa erat-erat. Tidak perlu bicara. Tidak perlu kata-kata. Bukankah kita selalu kehabisan kata setiap bertemu? Entah kenapa sebuah kalimat “apakabar?” menjadi begitu sulit dirangkai. Atau karena terlalu banyak yang ingin diceritakan sehingga tidak tahu harus memulai darimana? Entahlah.

Mungkin saya adalah satu-satunya orang yang belum ikhlas menerima ini. Entah kenapa rasanya begitu sakit sehingga meninggalkan luka yang belum kering hingga sekarang. Sebut saya egois. Sebut saya tak mau mengerti. Karena kali ini saya sedang tidak ingin mengerti apa-apa. Saya hanya ingin, dulu seusai sekolah ada yang datang menjemput saya lalu mengantarkan pulang. Dengan mama menunggu di rumah lalu menyiapkan makan siang kita. Kita kemudian akan menceritakan apa saja yang dilewati seharian.

Saya benci dibilang wanita kuat. Papa lihat betapa rapuhnya saya? Tidak tahu? Tentu saja papa tidak akan pernah tahu. Bahkan papa sudah lupa tanggal ulang tahun saya. Sebenarnya adil, karena saya juga lupa kapan hari lahir papa. Lalu, apa masih pantas saya menuntut papa untuk mengingat banyak hal jika saya pun sebenarnya telah melupakan banyak hal?


Maukah papa mulai semua ini dari awal? Anggap saja kita memang membutuhkan dua puluh tahun untuk saling meyakinkan diri bahwa kita saling mencintai. Anggap saja kita memang membutuhkan dua puluh tahun untuk saling bertanya pada diri masing-masing, sebesar apa rindu yang kita punya.
Maukah?

Maukah kita saling bertukar kisah, sejauhmana hidup memberi pelajaran pada masing-masing di antara kita. Bahwa kesendirian itu tidak selalu sepi. Bahwa kita masih jauh lebih beruntung dibandingkan entah berapa banyak orang di luar sana. Bahwa kita masih mempunyai banyak kesempatan, banyak sekali waktu untuk dibagi.
Bahwa tidak ada kata terlambat untu mengatakan betapa kita saling merindukan.
Saya rindu pa, rindu menjadi gadis kecil papa yang selalu berlari mengejar mimpi. Sampai sekarang pun, saya masih gadis kecil yang terus akan berlari mengejar mimpi. Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi kan? Kita hanya perlu sedikit berusaha lebih keras.

Di hampir tengah malam ini saya menangis. Menangis entah karena apa. Mungkin karena merindukanmu. Dan sisanya karena saya tidak tahu mengapa sampai sekarang, saya belum bisa menerima semua ini, meski saya akan selalu tersenyum. Selalu tersenyum.

Read more...

Yoghurt Cisangkuy - Alternatif pilihan tempat makan yang nyaman di Cikarang

>> Saturday, June 4, 2011

Yang paling bikin ga betah di cikarang ini, selain ketika harus bermacet-macet ria di saat berangkat dan pulang kerja, adalah ketika weekend tiba. Suka bingung mau kemana. Mall cuma satu-satunya, itu pun diledekin temen karena ac-nya ga dingin :)), secara cikarang itu panasnya ga kira-kira. Bioskop juga bernasib sama, cuma satu-satunya. 21 dengan film yang kebanyakan horor comedy plus tiket yang lebih mirip karcis bus kalo pulang kampung.

Di sini nyari tempat makan yang enak, murah plus nyaman juga bukan hal yang mudah. Ada sih beberapa tempat makan yang enak tapi tempatnya kurang nyaman. Atau enak plus tempatnya nyaman, tapi harganya ga nyaman sama sekali *halagh

Tapi ada satu tempat yang untuk pertama kali saya datangi bareng temen-temen sepulang kuliah. Namanya Yogurt Cisangkuy. Tempatnya cozy. Romantis sih menurut saya. Seru juga buat dipake ngumpul-ngumpul bareng.



Pada dasarnya sih ini rumah yang disulap oleh pemiliknya menjadi kafe. Dengan lampu berwarna-warni plus ayunan di ujung taman. Ada juga kursi plus meja kayu yang unik. Di situ kita bisa milih mau lesehan atau duduk di kursi sambil nonton tv.



Karena menu utamanya yoghurt, saya dan temen-temen langsung memesan yogurt beserta beberapa makanan berat lainnya. Tapi sempet bikinn ga nyaman juga sih, masa untuk bikin satu porsi nasi goreng aja ampe harus menunggu hampir satu jam :o

Salah satu menu yoghurt yang paling enak menurut saya adalah Yoghurt Special Strawberry, yoghurt ini berbentuk encer dengan beberapa buah strawberry di dalamnya.



Tempat ini cocok banget buat ngobrol lama-lama tanpa harus ngerasa ga enak sama pelayang yang mondar-mandir. Kita ga akan pernah dapat tatapan yang kurang bersahabat karena masih berada di tempat padahal makanan sudah habis sedari tadi. Bisa dijadikan alternatif buat ber-haha-hihi tanpa harus merasa terganggu. Meskipun ya itu, pelayanannya kurang cepet dan mesti sabar nunggu dikit, dikitttt aja :D


Kalo temen saya bilang, serasa dapet alternatif tempat makan dan ngobrol yang enak, jadi berasa ga di cikarang :))


Oh iya, kalo mau dateng kesini saya mesti bawa lotion anti nyamuk. Soalnya nyamuknya lumayan banyak dan saya benci banget dengan nyamuk *sambil ngeluarin obat nyamuk bakar

Read more...

Aira dan kenangan

>> Thursday, June 2, 2011

Hujan sudah turun pagi ini. Angin kencang menghempas jendela. Petir bersahutan. Sementara matahari belum ada tanda hendak menampakkan diri. Padahal kemarin, pada jam yang sama cuaca sudah begitu hangat.

Sudah hampir satu jam. Hujan kini menyisakan rintik yang menyentuh tanah-tanah tergenang. Sesekali menciptakan gemericik yang terdengar pilu. Saat seperti ini adalah waktu di mana masa lalu biasa datang menelusup menempati sudut-sudut hati. Masa lalu yang kemudian kita sebut kenangan.

Selalu ada satu ruang dalam setiap kenyataan. Ruang yang terpisah sekat tipis dan menjadi bagian dari hidup. Dalam ruang itulah kenangan lalu terkumpul. Dan setiap hujan yang turun, entah bagaimana caranya, selalu mampu melebur batas itu. Membuat kenangan tak lagi berdiam pada ruang semestinya. Ia berebutan memaksa keluar. Lalu meledak-ledak dalam bilik ingatan. Terkadang membuat rindu. Tak jarang menyisakan pedih. Dan kita tak mempunyai pilihan kecuali larut di dalamnya.

Kenangan. Mungkin itu pula yang tengah menghinggapi wanita di hadapanku. Namanya Aira. Usianya ada di penghujung dua puluhan. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Payung yang juga berwarna hitam tertutup rapat di sampingnya. Ia duduk menghadap sebuah makam. Makam suami yang telah pergi mendahuluinya sejak tiga tahun lalu.

Aku selalu melihatnya di pemakaman ini. Pagi-pagi sekali ia sudah tiba. Aku sampai hapal bagaimana cara Aira menggelar tikar, berdoa, dan mengusap-usap nisan di hadapannya. Sesekali kulihat ia bercerita, lalu tertawa, tak jarang ditimpali tangis. Aku seperti terhipnotis. Ada sakit luar biasa dalam setiap gerak tubuhnya. Sakit akan kehilangan. Sakit akan perasaan-perasaan dingin yang menyerangnya setiap malam. Sakit akan kenangan yang seolah tak peduli ketika menggerogoti kekuatannya untuk bertahan dalam kesepian.

Kehilangan selalu terasa berat. Ada yang kita lupa seusai mendapatkan. Bahwa yang datang kelak pasti pergi. Ia lalu meninggalkan sesuatu. Entah mimpi, harapan, dan tentu saja kenangan. Kenanganlah yang kemudian mengambil porsi paling banyak.

Tapi melepaskan kenangan, sama saja merelakan seluruh dari hatinya tertanam bersama jasad dalam makam itu. Ia rindu melewatkan pagi. Ia ingin kembali luruh menyaksikan senja. Ia berharap selamanya itu ada. Tapi lagi-lagi, sejarah tentu nyata. Dan kita tak mungkin terkurung di sana. Bagaimana pun hidup terus berjalan. Walau ia memapahmu dengan perih dan sakitnya.

Tapi hidup bagai berhenti di satu titik bagi Aira. Berhenti sejak pertama nisan itu tertanam bersama jasad orang yang paling dicintainya. Aira merindukan pria itu. Ia merindukannya seperti rindu pagi pada matahari agar daun-daun mampu berfotosintesis. Agar hangat bisa menjalari setiap jengkalnya. Aira rindu rasa itu. Kini setiap pagi bagai serupa. Dingin. Walau matahari bersinar terik. Mataharinya telah lama mati. Tersisa Aira yang tak sanggup merelakan kenangan. Ia terperangkap kala hujan membaurkan sekat pada kenyataan.

Aku masih berdiri. Terpaku. Tak sanggup beranjak meninggalkan Aira dengan semua perih yang ia telan sendiri. Matanya sembab. Pandangannya kosong. Aira sesekali menghela napas panjang. Lalu memejamkan mata.

Perih, luka, dan sakit itu semestinya menguatkan. Tapi Aira malah berkutat pada nyeri yang tak kunjung usai. Ia tak butuh pelukan. Ia sudah lupa apa rasanya kecupan. Yang ia ingat adalah bagaimana kesepian selalu menyergap kekuatan yang tak pernah sanggup ia bangun.

Hujan tiba-tiba turun. Aira menengadahkan kepala ke langit. Menerima dengan tulus rintikan air yang membasahi wajah layunya. Rintik yang kemudian menyentuh tanah seiring air mata yang sudah deras sedari tadi.

Aku melangkah mendekati Aira. Matanya semakin merah. Aku dapat melihat bibirnya gemetar kedinginan. Kulit tangannya hampir beku dan memucat. Aku lalu membelai rambut yang tak lagi bisa kubelai. Mengecup bibir yang tak lagi bisa kukecup. Merengkuh tubuh yang sama sekali tak lagi bisa tersentuh. Aku berbisik padanya...




“Apa perasaanmu kini Aira? Percayalah bahwa matahari selalu bisa menghangatkan. Itu janjinya pada semesta. Seperti ia yang kelak datang dalam hidupmu. Matahari lain, Aira. Matahari lain yang dapat memberi lagi sekat antara kenangan dan kenyataan....”

“Karena kenangan pada kenyataan itu berada dalam satu ruang yang terpisah oleh sekat tipis. Ia mampu luruh oleh hujan yang tiba-tiba datang. Maka ketika batas itu menjadi samar, jangan sampai kenangan mengurungmu dalam ingatannya. Berjalanlah walau tertatih atau sesekali kau harus tersungkur. Hidup tetaplah hidup. Dan kenangan harus selalu tersimpan rapi dalam tempat semestinya. Tengoklah ia sesekali. Untuk meyakinkan kau pernah indah berada di dalamnya. Bahwa semua perih, luka, kecewa, kehilangan, tawa dan bahagia ternyata mampu menguatkan. Selalu menguatkan.”

Read more...

Saya dan blog ini

>> Sunday, April 17, 2011

Awal mula saya mempunyai blog ini adalah atas saran dari seorang teman yang saya kenal melalui ngerumpi(dot)com. Ngerumpi sendiri adalah sebuah web 2.0 dengan konsep yang berisi mengenai segala hal dan hubungannya dengan dunia perempuan, seperti misalnya : dunia kerja, lifestyle, kehidupan keluarga, relationship, dan segala sesuatu mengenai perempuan. Meskipun belakangan banyak banget artikel fiksi bertebaran di situs tersebut, dan saya adalah salah satu di antara sekian banyak warga yang sering menulis artikel fiksi (yang mana sering dibilang non fiksi alias curcol hihihihi :D).

Teman saya yang yang waktu itu menggunakan nama abe sebagai akun ngerumpinya pun menawarkan untuk membuatkan saya blog. Sebuah blog yang hanya memuat tulisan fiksi, seperti tulisan yang terlalu pendek untuk dibilang cerpen, puisi yang masih nanggung dari segi diksi, atau curcolan yang sengaja saya kasih tag fiksi, serta prosa-prosa yang masih jauh banget dari kata sempurna.

Saya sih seneng-seneng aja meski pun tulisan di blog ini semuanya adalah hasil copas dari ngerumpi juga, dan itu pun ga semua saya copas karena jujur saya lebih nyaman nulis di sana dengan komen-komen rusuh dan para warga nya yang selalu bikin kangen itu.

Setelah kemarin-kemarin sempet ga ada postingan baru di blog ini dikarenakan kebodohan saya yang dengan semena-mena melupakan username dan password-nya. Akhirnya dengan malu-malu saya curhat ke seorang teman yang juga merupakan warga rumpi dan alhamdulillah dia masih nyimpen username lengkap dengan password blog saya, dicatet pula (hihihihi jadi malu, saya aja yang punya ga pernah nyatet :))). Makasih Floo ^^

Saya sendiri sekarang sudah punya 3 blog. Dan dua blog lainnya adalah blog duet bersama teman. Ada sterenbee yang merupakan blog duet dengan Rinibee. Dan satu blog lagi yang errrr partner duet saya kayanya belon mau di publish deh takut ngetop kali ya :p). Malah rencananya saya mau membuat satu blog duet lagi bareng Queeny. Dan kesemuanya adalah tulisan-tulisan berbentuk prosa.

Dan yah, sekarang saya sedang bersemangat sekali menulis. Berbagi cerita dan menulis hal sekecil apa pun. Satu hal yang saya dapat di rumah rumpi adalah bahwa seperti apa pun tulisanmu, tulislah dengan hati. Tulislah hanya karena kamu ingin menulisnya, ingin membaginya.



Mari menari dalam kata lalu kita bersenang-senang....

Read more...

Aku mau

>> Friday, March 25, 2011

Sejak kapan? Tanyamu.


Ini bukan mengenai perasaan nyaman ketika aku bertukar banyak cerita denganmu. Bukan pula mengenai kamu dan apapun tentangmu. Ini mengenai sesuatu yang aku rasakan, lebih dari semua yang bisa aku urai lewat kata. Aku tak berani bilang ini cinta. Kamu tahu alasannya apa? Aku tak pernah seberani itu untuk jatuh cinta padamu. Tidak, tidak sampai sejauh itu. Tidak sampai menggantungkan angan setinggi langit. Hingga aku lupa menjejak bumi. Tempat di mana aku harusnya berpijak.


Aku ingin kamu, dalam batas-batas yang tak kumengerti
Merindukanmu dalam hasrat-hasrat yang tak kupahami



Masih percaya dengan yang dinamakan “kata hati”? Kapan terakhir kamu bicara dengannya? Berbicara selayaknya pemilik hati dan hati yang dimilikinya. Atau mungkin tanpa sadar, entah kapan, aku lalu berbicara dengan hatiku. Meminta ia menunjukkan, apa yang harus aku rasakan padamu. Ia bilang, biarkan rasa mengalir. Tanpa harus dibatasi. Kelak ia akan menemukan tujuannya, berhenti pada satu titik. Diantara sedih dan bahagia. Saat itulah aku harus memberanikan diri. Melangkah menuju salah satu darinya. Sedih atau bahagia?


Aku hanya diperintah oleh kata “harus” padamu
Harus. Tak kuasa menolak....
Dijalani, tanpa tanya, apalagi gugat
Entah berhenti dimana
Entah sampai dimana
Tapi aku harus menjalani
Karena ini bagian hidup yang kuingini



Lalu ada masa, dimana aku merasa rindu begitu di luar kendali. Aneh. Tidak masuk akal. Kehilangan logika untuk menjelaskan, ketika kamu bertanya, kenapa aku merindukanmu?


Kangeni aku, entah apa pun arti kangen itu bagimu
Cintai aku, dengan cinta yang seperti apapun
Ingini aku, dengan ikatan yang bagaimanapun
Aku mau...



Hey, sudahkah kubilang sebelumnya bahwa aku tak pernah seberani itu untuk jatuh cinta padamu?
Ah, sayangnya setelah mengatakan itu, aku baru sadar bahwa aku telah begitu terkuasai olehmu...
dan benar---aku jatuh cinta.

Read more...

Ketika rindu menari...

>> Monday, March 21, 2011

Rindu untuk priaku...


“Aku kangen kamu...”
Bisikmu lirih. Di antara bising deru kendaraan dan udara yang kian mendingin.



Langit yang baru menuntaskan hujan menjadi pembenaran saat tanganmu menggenggam tanganku. Membiarkan kita tanpa bicara. Tidak. Saat itu aku tak perlu kata. Aku hanya ingin berpegangan lebih lama. Lebih lama. Supaya rindu mampu mengalir. Kalau perlu sampai habis. Tak bersisa. Karena setelahnya, kutahu jarak akan memenggal kisah kita. Lalu aku akan mengumpulkan keping demi keping kenangan berserakan. Potongan rindu yang ternyata tak akan habis terurai. Ya, aku salah. Rindu ternyata begitu pandai membelah diri. Lalu dengan leluasa ia menempati setiap titik dalam hati, ingatan, bahkan keinginan.

Bola rindu menggantung di langit-langit kamar. Menciptakan nada yang melagukan irama Beethoven. Tapi selembut apa pun sebuah nada terlantun. Tentu kelak ia harus tetap berakhir. Seperti perjalanan rindu. Yang menyisakan episode lain di hadapannya. Aku bahkan melihat rindu-rindu berebutan memaksa masuk. Mereka menari riang. Melesat dalam bilik ingatan. Membuat sesak makin terasa. Hatiku penuh. Penuh akan rindu yang entah kapan bisa terbayar.

Garis jarak lalu menarikmu. Melepasmu sama saja menyuburkan rindu. Tapi aku tak punya pilihan. Selain mengucapkan selamat datang pada sesak yang kelak menguasai.



Ucapkan selamat datang pada sesak yang memenuhi hati tanpa peduli....




Rindu untuk wanitaku...


Dan udara pun terasa lindap saat langkahmu menjauh. Perlahan tajamnya rindu menoreh ciptakan luka abadi. Tak pernah ada mimpi untuk memilikimu. Bertolak dengan ingin agar sekilas pegangan jangan sampai terlepas.

Seharusnya satu pertemuan bisa memupuskan selapis rindu. Tapi sebaliknya, lapisan udara seakan menipis saat merelakan jarak menjadi juri penentu.

Mungkin saatnya mengiyakan pada lagu cinta yang tak pernah nyata. Yang selalu indah lirih terdengar merajam darimu.

Catatan singkat ini, biar sunset saja yang tahu, biar tenggelam jauh di ufuk.

Hey, kangen : Fuckyeah!!! Hanya ada saat dia tiada...


Dan mari bersama mengutuk jarak, menyerapahi waktu. Walau tak mengurangi senyum sinis angkuh dunia. Aku hanya ingin kau dekat saat ini. Tak lebih...

Dan kini, aku hanya bisa menghibur diri dengan membiarkan luka bercerita. Sesederhana ingin mengusap lembut keningmu dan membisikan cinta di sela halus rambutmu. Begitulah rindu mempermainkanku.


Ucapkan selamat datang pada sesak yang memenuhi hati tanpa peduli....

Read more...

Sampai gila...

Oh, secret admirer
When you’re around the autumn feels like summer
How come you’re always messing up the weather?
Just like you do to me...

Saya sedang suka lagu ini. Sebuah lagu manis berjudul secret admirer dari mocca. Jika ada yang bertanya, apakah ada alasan khusus untuk itu? Saya pasti akan menahan jawaban sambil tersenyum. Tersenyum seraya mengingat kamu. Seseorang yang kemudian membuat saya menggilai lagu ini.

Saya selalu percaya, tentu semua telah diatur sedemikian apiknya. Termasuk ketika siang itu tiba-tiba saya menemukanmu. Kenapa saya bilang tiba-tiba? Karena tanpa sadar tangan saya tergerak menuju padamu. Menuju takdir yang menuliskan nama kita di dalamnya. Kita kemudian terangkai dengan begitu banyak kebetulan. Kita ternyata mengenal banyak teman yang sama. Dihubungkan oleh berbagai kejadian yang lagi-lagi hanya sebuah kebetulan, katamu.

Dear handsome admirer
I always think that you’re a very nice fellow
But suddenly you make me feel so mellow
Every time you say hello

Itu adalah penggalan lirik yang paling saya suka. Manis ya? Sekali waktu, akan saya ceritakan betapa saya menyukai lagu ini. Pada sela-sela percakapan ringan kita. Di antara pembicaraan mengenai film yang sedang kamu suka atau tempat yang ingin kamu kunjungi. Tak lupa saya selipkan sedikit kisah. Kisah tentang saya yang menggilaimu. Menggilai hingga batas gila sebenar-benarnya. Menggilai hingga habis kesadaran saya. Menggilai hingga saya tidak sadar bahwa saya sedang tergila-gila. Menggilai hingga kamu tak punya pilihan lain kecuali menerima kegilaan saya. Kegilaan saya mencintai kamu. Kegilaan yang tenang saja, pasti akan terasa manis.

Tentu saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya mencintai diam-diam. Seperti ingin berteriak di telingamu bahwa saya JATUH CINTA. Tapi kemudian saya menikmati semua ini. Menikmati saya yang diam-diam memperhatikanmu. Menikmati saya yang memutuskan tak menyapamu jika kita berpapasan. Menikmati saya yang tak pernah mengirimkan kata-kata indah untukmu. Menikmati saya yang lain. Saya yang hanya seperti ini ketika mencintaimu. Karena kamu berbeda. Karena saya ingin memperlakukanmu dengan cara yang berbeda.

Saya bercerita panjang lebar pada seorang teman. Bagaimana bisa, katanya. Seorang saya bisa diam menahan rasa. Padahal ia biasanya meledak-ledak minta dikeluarkan. Saya tersenyum tipis. Karena sekali lagi kamu berbeda. Ada kalanya di mana saya hanya bisa diam. Melihat icon messengermu menyala. Bahkan sebuah kata “hallo” pun tak pernah terbayang untuk memulai percakapan. Iya, hal itu sebegitu seringnya terjadi. Hingga lalu messengermu berubah warna. Dan saya harus menunggu keesokan hari untuk mengumpulkan keberanian itu lagi.

Tapi seperti yang saya bilang. Ketika telah sampai batas gila, maka dengan tenang saya akan menyapamu. Bertanya berbagai macam hal yang selalu kamu jawab dengan ramah. Mungkin akhirnya kamu akan sadar betapa saya menggilai kamu. Iya, itu ketika saya sudah tidak bisa berlama menahan rasa. Tapi tenang, kamu tidak perlu setakut itu. Saya tetap akan menggilaimu dengan manis. Saya janji.

Oh iya, saya pernah membuatkanmu beberapa cerita. Ada cerita mengenai kepingan senja, malam yang mengisahkan luka, dan tak lupa garis takdir yang perlahan bersinggungan. Bisa minta tolong ambil satu gambar pelangi? Biar saya bisa tulis kisah baru untukmu. Tentang langit yang berubah cantik. Selepas hujan dan matahari bertemu di satu titik.





Saya menggilaimu. Menggilai hingga batas gila sebenar-benarnya. Menggilai hingga habis kesadaran saya. Menggilai hingga saya tidak sadar bahwa saya sedang tergila-gila. Menggilai hingga kamu tak punya pilihan kecuali menerima kegilaan saya. Kegilaan saya mencintai kamu. Kegilaan yang tenang saja, pasti akan terasa manis.

Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP