Merah

>> Sunday, August 29, 2010


Hujan datang lagi. Diantara sore dan pekatnya malam yang sebentar lagi menjelang datang menyerang siapa saja yang tak siap menerima kehilangan.



Masa lalu. Harapan. Kenangan yang seharusnya telah lama tertinggal seolah enggan melepaskan diri dari pelukan pada kaki kaki rentanku.


Aku terdiam. Menikmati setiap tetes air yang tercurah jatuh ke tanah. Tangan sebelah kananku menggenggam sebuah amplop berwarna putih. Lusuh. Tak lagi baru. Amplop yang selalu aku keluarkan dari kotak penyimpanan setiap hujan turun. Tak peduli pagi atau malam hari. Bahkan aku akan segera tersadar meski tengah melayang dalam buaian mimpi. Tangganku langsung tergerak menggapai gapai membuka kotak meraih amplop lusuh yang sudah berwarna tak putih lagi.


Hujan datang lagi. Diantara sore dan pekatnya malam yang sebentar lagi menjelang datang menyerang siapa saja yang tak siap menerima kehilangan...


Sore dan hujan. Perpaduan luar biasa yang selalu membuatku tak kuasa menahan tangis diantara satu tanya memenuhi kepala. Tangis kehilangan. Tangis tak kuasa melepaskan. Dan tangis yang selalu hadir bahkan tanpa aku minta.


Sore dan Hujan. Dua hal yang juga juga amat disukai Raya. Hujan seringkali membawa inspirasi. Ungkapnya pada suatu hari. Maka ketika hujan, ia lebih senang menghabiskan waktu dalam kamar dengan jendela yang dibiarkan terbuka. Menikmati dinginnya cuaca. Kadang ia menoleh keluar. Melihat gemericik air becanda mesra. Menulis surat surat untukku. Surat cinta yang selalu ia berikan ketika hujan reda nanti. Surat yang selalu dimasukannya dalam amplop berwarna merah. Tak pernah lupa atau tertukar. Merah. Warna kesukaanku dan Raya.


Sungguh Raya mewarisi kecantikan dan kesempurnaan ibunya. Ibunya yang mempertaruhkan seluruh nyawa untuk menghadirkannya. Disaksikan peluh dan kucuran darah. Darah yang lagi lagi berwarna Merah. Merah. Warna kesukaanku dan Raya.


Maka akupun berharap Raya akan menjelma sekuat ibunya. Yang hanya akan mati karena renta termakan usia atau berjuang melahirkan anak yang kelak akan melanjutkan perjuangannya.


Tapi tidak. Itu tidak terjadi. Raya memilih mengakhiri hidupnya di usia ke 25. Seperempat abad setelah ia lahir diantara luapan pengharapan yang mengiringi kehadirannya.


Sore itu tanggal 25 mei 2010, ketika hujan deras mengalahkan kekuatan matahari yang bersinar terik sepanjang hari. Aku tak melihatnya berada dikamar dengan jendela yang terbuka. Tak juga diteras. Tak pula diruang tengah. Aku hanya menemukan amplop terselip diantara tumpukan buku di meja kerja. Amplop berwarna putih dengan tulisan khas tangan Raya. Amplop yang tak seperti biasanya. Amplop yang bukan berwarna merah. Tapi putih. Putih. Bukan warna kesukaanku dan Raya.


Belum sempat membukanya. Aku mendengar begitu banyak orang berteriak diluar sana. Memekik ketakutan. Berteriak diantara riuhnya suara hujan. Raya. Aku melihatnya bersimbah darah segar berwarna merah. Air hujan membasuh membersihkan semua percikan darah itu. Seorang saksi mata mengatakan Raya tiba tiba menghambur berlari ketengah jalan raya menabrakan diri pada sebuah mobil yang menghantamnya dengan kecepatan tinggi. Raya. Mati diantara genangan warna kesukaannya. Entahlah, aku tak pernah menyangka ia akan memilih mengakhiri hidup dengan cara paling hina seperti ini. Raya yang ceria. Yang selalu menghadirkan tawa. Ternyata menyimpan duka yang tak pernah bisa disampaikannya. Walau hanya melalui sederet tulisan pada surat yang selalu ia kirimkan padaku dalam amplop berwarna merah di sore hari setiap hujan telah reda.







Sore ini tepat tiga ratus enam puluh lima hari kepergiannya, aku terdiam. Menikmati setiap tetes air yang tercurah jatuh ke tanah. Tangan sebelah kananku menggenggam sebuah amplop berwarna putih. Lusuh. Tak lagi baru. Mengapa bukan merah? Selalu itu yang ada dalam benakku. Bukan apa isi surat itu. Bukan berharap bahwa ada pesan tersembunyi didalam surat terakhir menjelang kepergiannya.

Lalu disore ini. Ketika hujan masih deras membasahi bumi. Aku menghambur berlari keluar rumah. Melakukan hal sama yang juga dulu dilakukan Raya. Menabrakan diri pada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Berharap menemukan jawaban atas satu pertanyaan yang tak pernah menemukan jawaban.


Aku merasa tubuhku mati rasa. Tapi masih bisa melihat genangan darah berwarna merah segar tersapu air hujan yang deras membasahi bumi. Tangan kananku memegang amplop peninggalan Raya. Amplop yang kini telah berubah warna menjadi merah. Merah oleh darah. Merah seperti biasanya. Merah. Warna kesukaanku dan Raya.





Hujan datang lagi. Diantara sore dan pekatnya malam yang sebentar lagi menjelang datang menyerang siapa saja yang tak siap menerima kehilangan...






*Dalam rangka memeriahkan lomba di blognya ceritaeka



Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP