Edisi rindu

>> Thursday, June 9, 2011

Membaca sebuah artikel yang menceritakan mengenai hubungan seorang anak dan ayah membuat saya menangis dan iri.

Tuhan, saya rindu papa. Rindu sekali. Entah apa yang sebenarnya membuat saya selalu menangis di setiap kali merindukannya. Mungkin saya iri dengan begitu banyak cerita yang seharusnya tercipta di antara kami. Mungkin saya iri karena kehilangan begitu banyak hari yang seharusnya bisa kami nikmati berdua.

Pa, sebentar lagi usia saya menginjak 24. Itu berarti sudah dua puluh tahun sejak pertemuan kita seusai maghrib itu. Saya masih ingat, ketika itu papa datang. Duduk di ruang tamu. Berbincang sebentar dengan mama. Lalu pulang.

Kenapa saya harus mewarisi sikap angkuh dan keras kepalamu? Sehingga untuk mengatakan rindu saja seperti tertahan di ujung lidah. Tahu tidak, yang paling ingin saya lakukan sekarang adalah datang. Mengetuk pintu rumahmu. Lalu memeluk papa erat-erat. Tidak perlu bicara. Tidak perlu kata-kata. Bukankah kita selalu kehabisan kata setiap bertemu? Entah kenapa sebuah kalimat “apakabar?” menjadi begitu sulit dirangkai. Atau karena terlalu banyak yang ingin diceritakan sehingga tidak tahu harus memulai darimana? Entahlah.

Mungkin saya adalah satu-satunya orang yang belum ikhlas menerima ini. Entah kenapa rasanya begitu sakit sehingga meninggalkan luka yang belum kering hingga sekarang. Sebut saya egois. Sebut saya tak mau mengerti. Karena kali ini saya sedang tidak ingin mengerti apa-apa. Saya hanya ingin, dulu seusai sekolah ada yang datang menjemput saya lalu mengantarkan pulang. Dengan mama menunggu di rumah lalu menyiapkan makan siang kita. Kita kemudian akan menceritakan apa saja yang dilewati seharian.

Saya benci dibilang wanita kuat. Papa lihat betapa rapuhnya saya? Tidak tahu? Tentu saja papa tidak akan pernah tahu. Bahkan papa sudah lupa tanggal ulang tahun saya. Sebenarnya adil, karena saya juga lupa kapan hari lahir papa. Lalu, apa masih pantas saya menuntut papa untuk mengingat banyak hal jika saya pun sebenarnya telah melupakan banyak hal?


Maukah papa mulai semua ini dari awal? Anggap saja kita memang membutuhkan dua puluh tahun untuk saling meyakinkan diri bahwa kita saling mencintai. Anggap saja kita memang membutuhkan dua puluh tahun untuk saling bertanya pada diri masing-masing, sebesar apa rindu yang kita punya.
Maukah?

Maukah kita saling bertukar kisah, sejauhmana hidup memberi pelajaran pada masing-masing di antara kita. Bahwa kesendirian itu tidak selalu sepi. Bahwa kita masih jauh lebih beruntung dibandingkan entah berapa banyak orang di luar sana. Bahwa kita masih mempunyai banyak kesempatan, banyak sekali waktu untuk dibagi.
Bahwa tidak ada kata terlambat untu mengatakan betapa kita saling merindukan.
Saya rindu pa, rindu menjadi gadis kecil papa yang selalu berlari mengejar mimpi. Sampai sekarang pun, saya masih gadis kecil yang terus akan berlari mengejar mimpi. Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi kan? Kita hanya perlu sedikit berusaha lebih keras.

Di hampir tengah malam ini saya menangis. Menangis entah karena apa. Mungkin karena merindukanmu. Dan sisanya karena saya tidak tahu mengapa sampai sekarang, saya belum bisa menerima semua ini, meski saya akan selalu tersenyum. Selalu tersenyum.

3 comments:

warm June 12, 2011 at 8:49 PM  

semoga beliau tau tulisan ini, ttg apa yg kau rasa, dansemoga esok terus menjadi lebih baik. amin :)

queeny-o June 15, 2011 at 12:14 AM  

mengungkap rasa itu memang tidak begitu mudah ya, pada kasus apa pun. bibir kelu, kaki kaku. api yang dituju gak akan pernah tau kalo kita tetap membisu

hayo senyum tanteeee, ketuk pintunya kemudian peluk papa

*hugs

Capella June 15, 2011 at 4:07 AM  

@om warm : amin. makasih om :)

@queeny : lebih mudah menasehati orang daripada menasehati diri sendiri tenyata :(

makasih ya tante :)

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP