Cermin Separuh Wajah

>> Wednesday, June 15, 2011

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yang pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Sudah hampir tiga puluh hari dan ia masih tak mau beranjak dari kamar yang ditinggalinya. Kamar yang selalu ia biarkan gelap kecuali ketika sinar matahari memaksa masuk menelusup melalui tirai dengan celah sedikit terbuka. Kamar yang sekilas sama seperti kamar-kamar pada umunnya. Hanya satu yang terlihat berbeda. Di dalam kamarnya terdapat sebuah cermin besar, terletak di pojok ruangan. Cermin yang dipinggirnya dihiasi oleh ukiran kayu berwarna coklat tua. Pun dengan penyangga yang juga terbuat dari kayu, menunjukkan betapa cermin itu menjadi benda paling menarik perhatian di antara penghuni kamar lainnya. Cermin yang seolah mampu menyerap satu-satunya kehidupan di dalam kamar itu. Hidupnya.

Ia sendiri tak pernah berani menghadap cermin berlama-lama. Padahal seperti pada umumnya, cermin hanya mampu memantulkan apa yang tertangkap oleh cermin itu sendiri. Cermin berukir kayu itu pun hanya mampu memantulkan separuh bayangan tempat tidur beserta meja hitam yang terletak di sampingya. Atau bayangan tirai jendela yang berwarna abu-abu. Serta benda-benda lain yang terdapat dalam kamar tersebut. Tapi ia seperti melihat bayangan lain setiap menghadap cermin. Bayang seorang gadis yang pernah sangat dicintainya. Bayangan Raya.

Bayangan Raya selalu tersenyum setiap ia meluruskan pandangan menghadap cermin. Padahal ia sendiri tahu, Raya hanya sebuah kenangan yang seharusnya telah lama tertinggal di masa lalu. Tak mungkin kemudian sebuah cermin mampu memantulkan keping tersebut. Seandainya bisa, mungkin ia lebih memilih masuk ke dalamnya. Melompat lalu mengumpulkan puzzle-puzzle yang berceceran. Sehingga bayangan Raya bisa kembali utuh. Tidak hanya terpantul separuh senyum, mata atau rambutnya yang terurai berwarna hitam. Hal-hal yang selalu membuatnya rindu pada masa lalu.

Ia rindu gadis itu. Rindu pada surat-surat yang selalu dikirimkannya. Raya selalu suka membuat ia tersenyum kala mendapat sebuah surat yang diselipkannya, entah pada kotak makan, tas kerja, atau ketika ia membuaka notebook di pagi hari. Pada awalnya ia merasa biasa. Sapaan itu, cerita-cerita ringan yang selalu Raya bagi, atau ketika gadis itu sekedar mengingatkan mengenai pola makannya yang buruk.

Pada awalnya ia merasa biasa. Hingga kemudian, tak lagi ia temukan sebuah surat terselip pada kotak makan. Ia resah dan mencari ke dalam sela-sela tas kerja. Ia panik sampai mengeluarkan semua isinya. Tapi tetap tak ia temukan. Terakhir ia berharap akan menemukannya saat membuka notebook di pagi hari. Tapi surat itu tetap tak ada. Matanya sejurus memandangi sebuah cermin yang berada di pojok ruangan.Yang kemudian, di sisi sebelah kanannya terselip sebuah surat dengan amplop berwarna merah. Amplop yang di depannya terdapat tulisan tangan Raya. Baru ia merasa tenang.

Ia mengambil amplop tersebut. Membuka perlahan surat yang terlipat rapi. Berharap ada kejutan atau sesuatu yang akan membuatnya lebih bersemangat dalam menjalani hari yang penat. Tapi ternyata ia benar-benar mendapat kejutan. Surat itu hanya berisi sebuah kalimat singkat. Kalimat yang terlalu singkat malah. Kalimat yang hanya terdiri dari dua kata.

“Aku Pergi…”

Ia terpaku. Memandang cermin yang memantulkan utuh bayangnya. Ia tiba-tiba kehilangan kendali. Gravitasi bumi seolah terhenti. Membuat semua benda di sekitarnya menjadi tak beraturan. Sekilas ia melihat bayang gadis itu muncul. Bergantian. Bayang yang tak pernah lagi utuh. Hanya separuh senyum, mata, atau rambutnya yang terurai berwarna hitam. Sejak saat itu ia tak mampu menghadirkan bayangan utuh Raya. Susah payah ia mencoba mengingat, apalagi ketika rindu. Tapi tetap saja yang muncul hanya potongan sketsa wajah. Tak lebih. Dan ia hampir putus asa.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yang pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Ia lelah. Lelah mendapati dirinya belum mampu melupakan Raya. Lelah karena tak bisa melewatkan hari tanpa menunggu surat-surat yang biasanya terselip pada kotak makan, sela-sela tas kerja, atau di dalam notebook setiap pagi.

Ia lelah. Lelah menunggu Raya kembali. Berharap gadis itu merindukan hari-hari yang pernah mereka lewati. Tapi Raya, seperti pesan yang diselipkannya di sisi cermin, hanya mengatakan bahwa ia akan pergi. Pergi tanpa pernah berkata bahwa kelak akan kembali. Ia seharusnya tahu, bahwa dengan itu harus belajar menjalani hidup tanpa Raya. Tapi hidup bagai berhenti di satu titik. Tidak bergerak. Dan cermin dalam kamar inilah yang menjadi satu-satunya saksi betapa kehilangan bisa membuat seseorang menjadi tidak waras.

Ia teringat sebuah percakapan dengan Raya di pagi hari. Ketika matahari baru saja muncul dengan warna merah keemasan.

“Suatu hari aku pasti pergi.” Ucap Raya tanpa berani memandang lawan bicara.

“Kenapa?”

“Karena tanpa aku pun, kau akan tetap hidup. Harus tetap hidup.”

Tiga hari setelah menerima surat terakhir Raya, ia mendengar kabar gadis itu telah meninggal. Benar-benar meninggalkannya. Raya melompat dari apartementnya di lantai 22. Tubuhnya hancur terhempas ke permukaan. Seorang saksi yang berada pada tempat kejadian mengatakan tubuh Raya melayang seringan kapas. Menuruni dari lantai 21, 20, 19, terus hingga akhirnya menukik tajam menyentuh permukaan. Dengan darah yang seketika menghitam di sekitar tubuhnya.

Apa yang ada dipikiran Raya saat itu? Mengapa ia memilih mengakhiri dengan hidup dengan cara seperti itu? Bahkan Raya selalu terlihat ceria setiap kali bercerita lewat surat-surat yang diterimanya setiap hari. Hingga kemudian Raya berkata bahwa ia akan pergi. Dan ia pun harus mampu hidup tanpa Raya. Tanpa surat-surat yang sudah seperti candu baginya. Ia harus tetap hidup.

Tapi bagaimana ia bisa tetap hidup jika seluruh hidupnya hanya bertumpu pada surat-surat pemberian Raya? Jika dalam surat itu ia temukan semangat. Menemukan cinta. Menemukan warna-warni yang hanya bisa dilihatnya lagi pada pelangi. Bagaimana ia bisa tetap hidup jika perlahan ia menggantungkan hidup pada kehadiran surat-surat Raya?

Dan bagaimana ia bisa tetap hidup jika sesungguhnya Raya adalah hidup itu sendiri?

Maka sudah tiga puluh hari sejak kepergian Raya. Tiga puluh hari ia tidak berani ke luar kamar. Ia tak lagi mau menghadapi hidup. Ia takut tak menemukan surat-surat pemberian Raya. Raya salah. Ia tak bisa hidup tanpa gadis itu. Raya bukan hanya mengambil sebagian besar hidupnya. Tapi pun seluruh hidup itu sendiri sebenarnya berpusat pada Raya. Dan apa yang harus ia lakukan ketika Raya memilih mengakhiri hidup, yang kala itu membawa serta seluruh hidupnya mati?

“Apa yang harus aku lakukan?” Ia bertanya pada cermin.

Cermin yang tiba-tiba terasa muram. Padahal cermin itu tetap memantulkan benda-benda yang terdapat dalam kamar tersebut. Mana mungkin sebuah cermin mampu melakukan hal lain. Tapi yang ia lihat bukanlah bayangan setengah tempar tidur beserta meja hitam di sebelahnya. Bukan pula tirai berwarna abu-abu. Bahkan bukan bayangan dirinya.

Ia melihat potongan-potongan kenangannya bersama Raya. Saat mereka tiba-tiba terbangun pada pagi di tempat yang sama. Saat ia melihat wajah Raya begitu cantik ketika bangun tidur. Saat ia memeluk Raya dari belakang menghadap cermin. Atau saat ia membukakan tirai jendela agar matahari mampu menyinari rambut hitam raya.

Lalu ia bertanya-tanya, bagaimana perasaan Raya ketika memilih mengakhiri hidupnya kala itu? Apakah ia tersenyum di setiap menuruni lantai hingga menyentuh permukaan? Apa ia merasa bebas? Benarkah ia seperti melayang seringan kapas? Ataukah wajahnya menampakan kecemasan. Takut jika ia benar-benar pergi, akan ada kehidupan lain yang menunggunya. Takut bahwa hidup tak hanya berhenti di situ. Tak hanya selesai sampai kematian.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yanh pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Pertama kalinya dalam tiga puluh hari, ia kemudian berani membuka tirai. Sinar matahari bebas masuk menerangi kamarnya. Ia memandang ke luar. Bertanya pada dirinya apakah setiap cermin hanya akan memantulkan wajah Raya?



Ia dapat merasakan tubuhnya melayang seringan kapas. Menuruni lantai 21, 20, 19 sambil tak pernah sedikit pun mengatupkan mata. Melihat dalam-dalam bayangan yang tertangkap dalam kaca setiap lantai yang ia lewati. Ia cemas. Cemas bukan karena sebentar lagi akan terhempas ke permukaan. Cemas bukan karena darah akan menghitam di sekitar tubuhnya yang hancur. Cemas bukan karena setelahnya ia akan merasakan tubuhnya dingin lalu mati rasa. Tapi cemas karena berapa pun lantai yang dilewatinya, tetap saja kaca-kaca itu malah memantulkan bayangan Raya. Bayangan Raya yang tak pernah utuh.

Ia dapat merasakan tubuhnya terhempas ke permukaan. Mungkin ini juga yang dulu dirasakan Raya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya dingin, sebelum benar-benar mati rasa. Ia masih bisa melihat darah yang menghitam.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yanh pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

0 comments:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP