Aku dan Gadis Kecil
>> Thursday, November 10, 2011
"Kelak hidup hanya lah berputar mengenai melepaskan. Dan siapa pun, cuma akan bergerak menuju kehilangan."
Ah, tentu bukan seperti itu kalimat yang terucap dari gadis kecil di sampingku. Gadis ini, entah sudah berapa hari bajunya tidak dicuci. Kalau pun dicuci, mungkin ia tidak menggunakan detergen atau sabun karena bajunya masih sangat kotor dan meninggalkan bercak noda di mana-mana.
Ya, bajunya memang kotor. Rambutnya pun entah sudah berapa hari tak disentuh shampo. Atau mungkin ia sudah lupa kapan terakhir kalo rambutnya terciun wangi karena cairan tersebut. Tapi tidak jika kau lihat matanya. Mata bening khas anak kecil. Mata yang bersinar menari-nari. Mata yang dulu pasti pernah juga aku miliki.
Tentu ia hanya berucap beberapa kalimat sederhana. Tapi aku mengartikannya sepertu itu. Ada kalanya kehilangan justru membuat kita menjadi lebih kuat, bukan? Tentu saja, untuk menjadi kuat tidak harus selalu mengalami kehilangan terlebih dahulu. Tapi ada kalanya, kehilangan membuat kita menjadi lebih tertempa dan menyadari, bahwa apa pun, hidup harus terus dijalani.
Jangan tanya dia mengenai kehilangan. Dia sudah kehilangan banyak hal dalam hidup. Hidup memberinya banyak pelajaran berharga.
"Nama kamu siapa?"
"Ucrit."
"Heh, nama asli?"
"Orang-orang dari dulu manggil gitu."
"Lah, nama kamu?"
"Rani, Kak."
"Oh."
Apa yang kau pikir ketika berhadapan dengan anak kecil yang sudah bisa berbicara mengenai hidup. Hidup yang sederhana di matanya. Hidup yang cuma untuk mencari uang supaya bisa mengganjal perutnya sendiri. Hidup yang hanya digunakannya untuk bertanya, apa besok ia masih bisa makan atau tidak. Karena yang ia tahu, selama ia bisa makan, selama itu lah ia kemudian bisa meneruskan hidup.
"Bapak ke mana?"
Dia menggeleng.
"Ibu?"
"Udah meninggal."
"Oh, maaf."
Dia diam.
Aku diam. Lama. Cuma menatap lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk menutup hari.
"Mau makan apa?"
"Uangku belum ngumpul, Kak. Nanti aja lah."
"Lah, ya bareng aku aja. Beli dua." aku menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan.
"Heh, ditraktir?" dia lekat menatap mataku.
Aku mengangguk pelan. Aku jengah dipandanginya seperti itu. Karena tiba-tiba dadaku sesak dan mendorong bulir air mata menggenang di ujung mata.
Dia kemudian datang. Membawa dua bungkus berisi nasi dan telur dadar.
"Kembaliannya." dia menyodorkan beberapa lembar uang seribuan.
"Heh, ko masih ada kembalian. Kenapa ga dibeliin semua?"
Dia menggeleng.
"Buat kamu aja."
Dia kembali menggeleng.
Dia makan lahap sekali. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali makan seperti itu. Pun lupa makanan enak apa yang terakhir membuatku se-bersyukur gadis di sebelahku.
"Besok aku ikut ngamen ya?"
"Heh, ngapain? Ga punya duit buat makan?" dia tertawa.
"Ya, nggak. Mau ikut aja. Jalan-jalan."
"Jalan-jalan ko ngamen?"
"Cerewet. Boleh ga?"
Dia tertawa. Kencang. "Emang bisa nyanyi?"
"Ga bisa sih. Emang mesti bisa nyanyi?"
"Lah ya gimana? Mau ngamen kan?"
Aku mengangguk.
"Mo nyanyi apaan emang?"
"Cheriebelle aja."
Dia kembali tertawa.
Di ujung tawanya dia berkata.
"Besok kalo mau ikut. Ga usah pake baju bagus-bagus ya. Sama ga usah dandan. Hahaha." dia kembali tertawa.