Mencintaimu adalah keinginan

>> Wednesday, June 29, 2011

Tuhan,
Saat ini saya tengah jatuh cinta. Iya, untuk kesekian kalinya, saya lalu mempercayakan hati ini dititipkan pada seseorang, untuk kemudian-entah-akan ia apakan. Bisa saja ia membuatnya utuh ketika kelak mengembalikan pada saya. Atau sebaliknya, membuat retakan di beberapa bagian lalu meninggalkan saya yang pada akhirnya harus mati-matian menyembuhkannya.

Tapi Tuhan,
Entah mengapa padanya saya begitu percaya. Bukan, bukan karena ia tak pernah sekali pun membuat saya menangis. Ah iya, saya jadi teringat pada suatu hari. Di Senin pagi ketika kami hendak berpisah. Lalu karena sesuatu hal, saya kemudian menangis. Hanya menetes sedikit-demi-sedikit. Sebagian mungkin menggenangi mata saya. Tapi caranya memohon, caranya meminta saya menghentikan tangisan. Begitu apa adanya. Tidak pernah ada seorang pun yang memohon kepada saya seperti itu. Betapa saat itu saya berharap bisa membuat waktu berhenti. Lalu menangkap satu-demi-satu harapannya yang memenuhi ruang kamar. Untuk kemudian menempatkannya dalam petak ingatan saya. Agar penuh. Agar tidak lagi ada ruang bagi yang lainnya. Bagi kenangan yang lainnya.

Tuhan,
Saya pertama bertemu dengannya dalam suasana riuh.Kala itu hujan tengah deras-derasnya. Dan kami bertemu. Tanpa harap. Tanpa percakapan selain, apakabar. Tanpa apa-apa kecuali sapaan yang terdengar begitu biasa. Tanpa sedikit pun keinginan bahwa kelak yang entah kapan, kita mungkin akan dipertemukan kembali.

Tapi hidup sungguh lucu. Satu pertemuan yang tak direncanakan itu lalu menarik kami masuk ke dalam percakapan-percakapan ringan di pagi hari, dan kadang siang hari. Beberapa lainnya terjadi ketika malam. Semuanya masih seperti biasa hingga kami lalu bertemu untuk kedua kalinya.

Dan hidup memang benar-benar lucu. Entah mengapa ia lalu mempertemukan saya, dia, dan waktu yang begitu terbatasnya, juga jarak yang mengulur jauh-jauh. Membuat semua yang berputar-putar di dalamnya diikat oleh sebuah rasa, yang lalu ia sebut dengan cinta.

Dan Tuhan,
Mencintainya bagi saya bukanlah sebuah pilihan. Mencintainya adalah keinginan. Sesuatu yang mungkin jauh dalam diri saya, telah lama saya harapkan.

Dan tahukah Tuhan,
Saya pun ingin mencintainya dengan sederhana. Tanpa perlu membuat porsi dari pengharapan kelak melebihi cinta itu sendiri. Tanpa perlu menempatkan keinginan memilikinya berada di atas cinta itu sendiri. Agar kelak jika saya terpaksa harus merelakannya, maka saya akan tetap menempatkannya dalam kenangan nomor satu. Sebagai seseorang yang akan menempati tempat seluas-luasnya dalam hati saya. Meski hanya sebuah kenangan.

Hey kamu,
Saya hanya ingin mencintaimu, dengan melepaskan sebanyak-banyaknya keinginan untuk memilikimu.
Karena mencintaimu bagi saya bukanlah sebuah pilihan. Mencintaimu adalah keinginan. Sesuatu yang mungkin jauh dalam diri saya, telah lama saya harapkan. Dengan, atau tanpa memilikimu.

Read more...

Setengah benci, selebihnya cinta

>> Thursday, June 16, 2011

Cinta dan benci. Betapa dua kata itu menjadi sulit dipisahkan ketika jalan takdir menuntunnya untuk mengenal pria tersebut. Pria yang entah dengan apa harus ia sebut. Pria yang entah dengan apa harus ia yakinkan hatinya. Karena hati itu tidak pernah utuh merasa. Sesekali cinta. Selebihnya benci. Ada separuh bahagia ketika ia menyebut nama pria itu. Tapi sejurus kemudian sesal datang menikung pada persimpangan paling curam. Di situ ia mulai merasa kalah. Apa yang dibangunnya selama ini sia-sia. Selayak benteng yang mampu hancur oleh sekepal lemparan tanah. Ternyata benteng yang ia bangun tak pernah sekokoh itu.

Cinta dan benci. Pernah ia coba memisahkan keduanya. Ia tempatkan cinta pada nampan berukuran besar, lalu sisanya diselipkan benci. Tapi rasa, sama seperti keinginan. Adalah sesuatu yang jauh dari jangkauan. Tak mampu dibatasi oleh hitungan sederhana manusia. Maka lagi-lagi ia merasa kalah. Merelakan hatinya yang separuh bahagia, dan selebihnya cacat itu menjalani hidup.

Hatinya ternyata masih terluka. Sayatan itu terkadang sembuh, lalu seketika muncul luka baru. Setiap kali ia mengingat pria itu, tambahan luka malah bertambah satu. Ia lelah hingga harus menengadahkan kepala pada langit setiap hujan turun. Berharap air dari langit yang tanpa limit itu mampu membasuh sepertiga saja dari lukanya. Biarlah sisanya ia coba sembuhkan sendiri. Ia tetap akan butuh bantuan. Tapi hujan malah datang membawa petir. Kilatan cahaya perak dengan suara yang menggelegar membuatnya harus menutup telinga berkali-kali. Suara petir yang malah terdengar memanggil nama pria itu. Lalu luka baru bertambah satu.

Ia bosan. Merasa kadang hidupnya begitu baik-baik saja.

Tentu saja hidupnya sempurna. Lihat betapa ia mempunya pekerjaan yang stabil, para sahabat yang tak pernah menolak diajak bersenang-senang, juga ibu yang tak pernah bosan menceritakan kisah 1001 malam.

Tapi lalu “benci” berteriak.

“Aku masih di sini. Menempati separuh hatimu. Bahkan tak berkurang sedari dulu.”
Ia terdiam. Mendapati dirinya belum mampu memaafkan. Ia bahkan tak berani menyebut nama pria itu. Ia rindu. Rindu hingga menangis. Tapi air mata malah berubah jadi kerikil batu. Yang kembali jatuh pada celah-celah hatinya. Hanya menambah perih, isaknya.

“Aku hanya ingin dua puluh tahun ini terbayar. Walau hanya dengan sebuah pelukan. Tapi itu berarti, harus ia yang datang kepadaku. Memeluk sambil mengelus rambut yang selalu kubirkan tergerai.”


Lalu pagi bertambah satu. Tentu tak akan genap dua puluh tahun. Waktu berjalan, tak pernah melambat. Tersisa dua orang yang tak pernah rela menerima kehilangan. Dengan luka yang tak pernah ingin mereka sembuhkan.


Kangen papa :)

Read more...

Cermin Separuh Wajah

>> Wednesday, June 15, 2011

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yang pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Sudah hampir tiga puluh hari dan ia masih tak mau beranjak dari kamar yang ditinggalinya. Kamar yang selalu ia biarkan gelap kecuali ketika sinar matahari memaksa masuk menelusup melalui tirai dengan celah sedikit terbuka. Kamar yang sekilas sama seperti kamar-kamar pada umunnya. Hanya satu yang terlihat berbeda. Di dalam kamarnya terdapat sebuah cermin besar, terletak di pojok ruangan. Cermin yang dipinggirnya dihiasi oleh ukiran kayu berwarna coklat tua. Pun dengan penyangga yang juga terbuat dari kayu, menunjukkan betapa cermin itu menjadi benda paling menarik perhatian di antara penghuni kamar lainnya. Cermin yang seolah mampu menyerap satu-satunya kehidupan di dalam kamar itu. Hidupnya.

Ia sendiri tak pernah berani menghadap cermin berlama-lama. Padahal seperti pada umumnya, cermin hanya mampu memantulkan apa yang tertangkap oleh cermin itu sendiri. Cermin berukir kayu itu pun hanya mampu memantulkan separuh bayangan tempat tidur beserta meja hitam yang terletak di sampingya. Atau bayangan tirai jendela yang berwarna abu-abu. Serta benda-benda lain yang terdapat dalam kamar tersebut. Tapi ia seperti melihat bayangan lain setiap menghadap cermin. Bayang seorang gadis yang pernah sangat dicintainya. Bayangan Raya.

Bayangan Raya selalu tersenyum setiap ia meluruskan pandangan menghadap cermin. Padahal ia sendiri tahu, Raya hanya sebuah kenangan yang seharusnya telah lama tertinggal di masa lalu. Tak mungkin kemudian sebuah cermin mampu memantulkan keping tersebut. Seandainya bisa, mungkin ia lebih memilih masuk ke dalamnya. Melompat lalu mengumpulkan puzzle-puzzle yang berceceran. Sehingga bayangan Raya bisa kembali utuh. Tidak hanya terpantul separuh senyum, mata atau rambutnya yang terurai berwarna hitam. Hal-hal yang selalu membuatnya rindu pada masa lalu.

Ia rindu gadis itu. Rindu pada surat-surat yang selalu dikirimkannya. Raya selalu suka membuat ia tersenyum kala mendapat sebuah surat yang diselipkannya, entah pada kotak makan, tas kerja, atau ketika ia membuaka notebook di pagi hari. Pada awalnya ia merasa biasa. Sapaan itu, cerita-cerita ringan yang selalu Raya bagi, atau ketika gadis itu sekedar mengingatkan mengenai pola makannya yang buruk.

Pada awalnya ia merasa biasa. Hingga kemudian, tak lagi ia temukan sebuah surat terselip pada kotak makan. Ia resah dan mencari ke dalam sela-sela tas kerja. Ia panik sampai mengeluarkan semua isinya. Tapi tetap tak ia temukan. Terakhir ia berharap akan menemukannya saat membuka notebook di pagi hari. Tapi surat itu tetap tak ada. Matanya sejurus memandangi sebuah cermin yang berada di pojok ruangan.Yang kemudian, di sisi sebelah kanannya terselip sebuah surat dengan amplop berwarna merah. Amplop yang di depannya terdapat tulisan tangan Raya. Baru ia merasa tenang.

Ia mengambil amplop tersebut. Membuka perlahan surat yang terlipat rapi. Berharap ada kejutan atau sesuatu yang akan membuatnya lebih bersemangat dalam menjalani hari yang penat. Tapi ternyata ia benar-benar mendapat kejutan. Surat itu hanya berisi sebuah kalimat singkat. Kalimat yang terlalu singkat malah. Kalimat yang hanya terdiri dari dua kata.

“Aku Pergi…”

Ia terpaku. Memandang cermin yang memantulkan utuh bayangnya. Ia tiba-tiba kehilangan kendali. Gravitasi bumi seolah terhenti. Membuat semua benda di sekitarnya menjadi tak beraturan. Sekilas ia melihat bayang gadis itu muncul. Bergantian. Bayang yang tak pernah lagi utuh. Hanya separuh senyum, mata, atau rambutnya yang terurai berwarna hitam. Sejak saat itu ia tak mampu menghadirkan bayangan utuh Raya. Susah payah ia mencoba mengingat, apalagi ketika rindu. Tapi tetap saja yang muncul hanya potongan sketsa wajah. Tak lebih. Dan ia hampir putus asa.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yang pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Ia lelah. Lelah mendapati dirinya belum mampu melupakan Raya. Lelah karena tak bisa melewatkan hari tanpa menunggu surat-surat yang biasanya terselip pada kotak makan, sela-sela tas kerja, atau di dalam notebook setiap pagi.

Ia lelah. Lelah menunggu Raya kembali. Berharap gadis itu merindukan hari-hari yang pernah mereka lewati. Tapi Raya, seperti pesan yang diselipkannya di sisi cermin, hanya mengatakan bahwa ia akan pergi. Pergi tanpa pernah berkata bahwa kelak akan kembali. Ia seharusnya tahu, bahwa dengan itu harus belajar menjalani hidup tanpa Raya. Tapi hidup bagai berhenti di satu titik. Tidak bergerak. Dan cermin dalam kamar inilah yang menjadi satu-satunya saksi betapa kehilangan bisa membuat seseorang menjadi tidak waras.

Ia teringat sebuah percakapan dengan Raya di pagi hari. Ketika matahari baru saja muncul dengan warna merah keemasan.

“Suatu hari aku pasti pergi.” Ucap Raya tanpa berani memandang lawan bicara.

“Kenapa?”

“Karena tanpa aku pun, kau akan tetap hidup. Harus tetap hidup.”

Tiga hari setelah menerima surat terakhir Raya, ia mendengar kabar gadis itu telah meninggal. Benar-benar meninggalkannya. Raya melompat dari apartementnya di lantai 22. Tubuhnya hancur terhempas ke permukaan. Seorang saksi yang berada pada tempat kejadian mengatakan tubuh Raya melayang seringan kapas. Menuruni dari lantai 21, 20, 19, terus hingga akhirnya menukik tajam menyentuh permukaan. Dengan darah yang seketika menghitam di sekitar tubuhnya.

Apa yang ada dipikiran Raya saat itu? Mengapa ia memilih mengakhiri dengan hidup dengan cara seperti itu? Bahkan Raya selalu terlihat ceria setiap kali bercerita lewat surat-surat yang diterimanya setiap hari. Hingga kemudian Raya berkata bahwa ia akan pergi. Dan ia pun harus mampu hidup tanpa Raya. Tanpa surat-surat yang sudah seperti candu baginya. Ia harus tetap hidup.

Tapi bagaimana ia bisa tetap hidup jika seluruh hidupnya hanya bertumpu pada surat-surat pemberian Raya? Jika dalam surat itu ia temukan semangat. Menemukan cinta. Menemukan warna-warni yang hanya bisa dilihatnya lagi pada pelangi. Bagaimana ia bisa tetap hidup jika perlahan ia menggantungkan hidup pada kehadiran surat-surat Raya?

Dan bagaimana ia bisa tetap hidup jika sesungguhnya Raya adalah hidup itu sendiri?

Maka sudah tiga puluh hari sejak kepergian Raya. Tiga puluh hari ia tidak berani ke luar kamar. Ia tak lagi mau menghadapi hidup. Ia takut tak menemukan surat-surat pemberian Raya. Raya salah. Ia tak bisa hidup tanpa gadis itu. Raya bukan hanya mengambil sebagian besar hidupnya. Tapi pun seluruh hidup itu sendiri sebenarnya berpusat pada Raya. Dan apa yang harus ia lakukan ketika Raya memilih mengakhiri hidup, yang kala itu membawa serta seluruh hidupnya mati?

“Apa yang harus aku lakukan?” Ia bertanya pada cermin.

Cermin yang tiba-tiba terasa muram. Padahal cermin itu tetap memantulkan benda-benda yang terdapat dalam kamar tersebut. Mana mungkin sebuah cermin mampu melakukan hal lain. Tapi yang ia lihat bukanlah bayangan setengah tempar tidur beserta meja hitam di sebelahnya. Bukan pula tirai berwarna abu-abu. Bahkan bukan bayangan dirinya.

Ia melihat potongan-potongan kenangannya bersama Raya. Saat mereka tiba-tiba terbangun pada pagi di tempat yang sama. Saat ia melihat wajah Raya begitu cantik ketika bangun tidur. Saat ia memeluk Raya dari belakang menghadap cermin. Atau saat ia membukakan tirai jendela agar matahari mampu menyinari rambut hitam raya.

Lalu ia bertanya-tanya, bagaimana perasaan Raya ketika memilih mengakhiri hidupnya kala itu? Apakah ia tersenyum di setiap menuruni lantai hingga menyentuh permukaan? Apa ia merasa bebas? Benarkah ia seperti melayang seringan kapas? Ataukah wajahnya menampakan kecemasan. Takut jika ia benar-benar pergi, akan ada kehidupan lain yang menunggunya. Takut bahwa hidup tak hanya berhenti di situ. Tak hanya selesai sampai kematian.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yanh pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Pertama kalinya dalam tiga puluh hari, ia kemudian berani membuka tirai. Sinar matahari bebas masuk menerangi kamarnya. Ia memandang ke luar. Bertanya pada dirinya apakah setiap cermin hanya akan memantulkan wajah Raya?



Ia dapat merasakan tubuhnya melayang seringan kapas. Menuruni lantai 21, 20, 19 sambil tak pernah sedikit pun mengatupkan mata. Melihat dalam-dalam bayangan yang tertangkap dalam kaca setiap lantai yang ia lewati. Ia cemas. Cemas bukan karena sebentar lagi akan terhempas ke permukaan. Cemas bukan karena darah akan menghitam di sekitar tubuhnya yang hancur. Cemas bukan karena setelahnya ia akan merasakan tubuhnya dingin lalu mati rasa. Tapi cemas karena berapa pun lantai yang dilewatinya, tetap saja kaca-kaca itu malah memantulkan bayangan Raya. Bayangan Raya yang tak pernah utuh.

Ia dapat merasakan tubuhnya terhempas ke permukaan. Mungkin ini juga yang dulu dirasakan Raya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya dingin, sebelum benar-benar mati rasa. Ia masih bisa melihat darah yang menghitam.

Ia membenci cermin, sama seperti bencinya ia pada diri sendiri. Ketika duduk mnghadap cermin, yang terpantul malah bayangan gadis itu. Gadis yanh pernah begitu dicintainya. Gadis yang sekarang malah ia benci. Sama seperti bencinya ia pada diri sendiri.

Read more...

Edisi rindu

>> Thursday, June 9, 2011

Membaca sebuah artikel yang menceritakan mengenai hubungan seorang anak dan ayah membuat saya menangis dan iri.

Tuhan, saya rindu papa. Rindu sekali. Entah apa yang sebenarnya membuat saya selalu menangis di setiap kali merindukannya. Mungkin saya iri dengan begitu banyak cerita yang seharusnya tercipta di antara kami. Mungkin saya iri karena kehilangan begitu banyak hari yang seharusnya bisa kami nikmati berdua.

Pa, sebentar lagi usia saya menginjak 24. Itu berarti sudah dua puluh tahun sejak pertemuan kita seusai maghrib itu. Saya masih ingat, ketika itu papa datang. Duduk di ruang tamu. Berbincang sebentar dengan mama. Lalu pulang.

Kenapa saya harus mewarisi sikap angkuh dan keras kepalamu? Sehingga untuk mengatakan rindu saja seperti tertahan di ujung lidah. Tahu tidak, yang paling ingin saya lakukan sekarang adalah datang. Mengetuk pintu rumahmu. Lalu memeluk papa erat-erat. Tidak perlu bicara. Tidak perlu kata-kata. Bukankah kita selalu kehabisan kata setiap bertemu? Entah kenapa sebuah kalimat “apakabar?” menjadi begitu sulit dirangkai. Atau karena terlalu banyak yang ingin diceritakan sehingga tidak tahu harus memulai darimana? Entahlah.

Mungkin saya adalah satu-satunya orang yang belum ikhlas menerima ini. Entah kenapa rasanya begitu sakit sehingga meninggalkan luka yang belum kering hingga sekarang. Sebut saya egois. Sebut saya tak mau mengerti. Karena kali ini saya sedang tidak ingin mengerti apa-apa. Saya hanya ingin, dulu seusai sekolah ada yang datang menjemput saya lalu mengantarkan pulang. Dengan mama menunggu di rumah lalu menyiapkan makan siang kita. Kita kemudian akan menceritakan apa saja yang dilewati seharian.

Saya benci dibilang wanita kuat. Papa lihat betapa rapuhnya saya? Tidak tahu? Tentu saja papa tidak akan pernah tahu. Bahkan papa sudah lupa tanggal ulang tahun saya. Sebenarnya adil, karena saya juga lupa kapan hari lahir papa. Lalu, apa masih pantas saya menuntut papa untuk mengingat banyak hal jika saya pun sebenarnya telah melupakan banyak hal?


Maukah papa mulai semua ini dari awal? Anggap saja kita memang membutuhkan dua puluh tahun untuk saling meyakinkan diri bahwa kita saling mencintai. Anggap saja kita memang membutuhkan dua puluh tahun untuk saling bertanya pada diri masing-masing, sebesar apa rindu yang kita punya.
Maukah?

Maukah kita saling bertukar kisah, sejauhmana hidup memberi pelajaran pada masing-masing di antara kita. Bahwa kesendirian itu tidak selalu sepi. Bahwa kita masih jauh lebih beruntung dibandingkan entah berapa banyak orang di luar sana. Bahwa kita masih mempunyai banyak kesempatan, banyak sekali waktu untuk dibagi.
Bahwa tidak ada kata terlambat untu mengatakan betapa kita saling merindukan.
Saya rindu pa, rindu menjadi gadis kecil papa yang selalu berlari mengejar mimpi. Sampai sekarang pun, saya masih gadis kecil yang terus akan berlari mengejar mimpi. Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi kan? Kita hanya perlu sedikit berusaha lebih keras.

Di hampir tengah malam ini saya menangis. Menangis entah karena apa. Mungkin karena merindukanmu. Dan sisanya karena saya tidak tahu mengapa sampai sekarang, saya belum bisa menerima semua ini, meski saya akan selalu tersenyum. Selalu tersenyum.

Read more...

Yoghurt Cisangkuy - Alternatif pilihan tempat makan yang nyaman di Cikarang

>> Saturday, June 4, 2011

Yang paling bikin ga betah di cikarang ini, selain ketika harus bermacet-macet ria di saat berangkat dan pulang kerja, adalah ketika weekend tiba. Suka bingung mau kemana. Mall cuma satu-satunya, itu pun diledekin temen karena ac-nya ga dingin :)), secara cikarang itu panasnya ga kira-kira. Bioskop juga bernasib sama, cuma satu-satunya. 21 dengan film yang kebanyakan horor comedy plus tiket yang lebih mirip karcis bus kalo pulang kampung.

Di sini nyari tempat makan yang enak, murah plus nyaman juga bukan hal yang mudah. Ada sih beberapa tempat makan yang enak tapi tempatnya kurang nyaman. Atau enak plus tempatnya nyaman, tapi harganya ga nyaman sama sekali *halagh

Tapi ada satu tempat yang untuk pertama kali saya datangi bareng temen-temen sepulang kuliah. Namanya Yogurt Cisangkuy. Tempatnya cozy. Romantis sih menurut saya. Seru juga buat dipake ngumpul-ngumpul bareng.



Pada dasarnya sih ini rumah yang disulap oleh pemiliknya menjadi kafe. Dengan lampu berwarna-warni plus ayunan di ujung taman. Ada juga kursi plus meja kayu yang unik. Di situ kita bisa milih mau lesehan atau duduk di kursi sambil nonton tv.



Karena menu utamanya yoghurt, saya dan temen-temen langsung memesan yogurt beserta beberapa makanan berat lainnya. Tapi sempet bikinn ga nyaman juga sih, masa untuk bikin satu porsi nasi goreng aja ampe harus menunggu hampir satu jam :o

Salah satu menu yoghurt yang paling enak menurut saya adalah Yoghurt Special Strawberry, yoghurt ini berbentuk encer dengan beberapa buah strawberry di dalamnya.



Tempat ini cocok banget buat ngobrol lama-lama tanpa harus ngerasa ga enak sama pelayang yang mondar-mandir. Kita ga akan pernah dapat tatapan yang kurang bersahabat karena masih berada di tempat padahal makanan sudah habis sedari tadi. Bisa dijadikan alternatif buat ber-haha-hihi tanpa harus merasa terganggu. Meskipun ya itu, pelayanannya kurang cepet dan mesti sabar nunggu dikit, dikitttt aja :D


Kalo temen saya bilang, serasa dapet alternatif tempat makan dan ngobrol yang enak, jadi berasa ga di cikarang :))


Oh iya, kalo mau dateng kesini saya mesti bawa lotion anti nyamuk. Soalnya nyamuknya lumayan banyak dan saya benci banget dengan nyamuk *sambil ngeluarin obat nyamuk bakar

Read more...

Aira dan kenangan

>> Thursday, June 2, 2011

Hujan sudah turun pagi ini. Angin kencang menghempas jendela. Petir bersahutan. Sementara matahari belum ada tanda hendak menampakkan diri. Padahal kemarin, pada jam yang sama cuaca sudah begitu hangat.

Sudah hampir satu jam. Hujan kini menyisakan rintik yang menyentuh tanah-tanah tergenang. Sesekali menciptakan gemericik yang terdengar pilu. Saat seperti ini adalah waktu di mana masa lalu biasa datang menelusup menempati sudut-sudut hati. Masa lalu yang kemudian kita sebut kenangan.

Selalu ada satu ruang dalam setiap kenyataan. Ruang yang terpisah sekat tipis dan menjadi bagian dari hidup. Dalam ruang itulah kenangan lalu terkumpul. Dan setiap hujan yang turun, entah bagaimana caranya, selalu mampu melebur batas itu. Membuat kenangan tak lagi berdiam pada ruang semestinya. Ia berebutan memaksa keluar. Lalu meledak-ledak dalam bilik ingatan. Terkadang membuat rindu. Tak jarang menyisakan pedih. Dan kita tak mempunyai pilihan kecuali larut di dalamnya.

Kenangan. Mungkin itu pula yang tengah menghinggapi wanita di hadapanku. Namanya Aira. Usianya ada di penghujung dua puluhan. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Payung yang juga berwarna hitam tertutup rapat di sampingnya. Ia duduk menghadap sebuah makam. Makam suami yang telah pergi mendahuluinya sejak tiga tahun lalu.

Aku selalu melihatnya di pemakaman ini. Pagi-pagi sekali ia sudah tiba. Aku sampai hapal bagaimana cara Aira menggelar tikar, berdoa, dan mengusap-usap nisan di hadapannya. Sesekali kulihat ia bercerita, lalu tertawa, tak jarang ditimpali tangis. Aku seperti terhipnotis. Ada sakit luar biasa dalam setiap gerak tubuhnya. Sakit akan kehilangan. Sakit akan perasaan-perasaan dingin yang menyerangnya setiap malam. Sakit akan kenangan yang seolah tak peduli ketika menggerogoti kekuatannya untuk bertahan dalam kesepian.

Kehilangan selalu terasa berat. Ada yang kita lupa seusai mendapatkan. Bahwa yang datang kelak pasti pergi. Ia lalu meninggalkan sesuatu. Entah mimpi, harapan, dan tentu saja kenangan. Kenanganlah yang kemudian mengambil porsi paling banyak.

Tapi melepaskan kenangan, sama saja merelakan seluruh dari hatinya tertanam bersama jasad dalam makam itu. Ia rindu melewatkan pagi. Ia ingin kembali luruh menyaksikan senja. Ia berharap selamanya itu ada. Tapi lagi-lagi, sejarah tentu nyata. Dan kita tak mungkin terkurung di sana. Bagaimana pun hidup terus berjalan. Walau ia memapahmu dengan perih dan sakitnya.

Tapi hidup bagai berhenti di satu titik bagi Aira. Berhenti sejak pertama nisan itu tertanam bersama jasad orang yang paling dicintainya. Aira merindukan pria itu. Ia merindukannya seperti rindu pagi pada matahari agar daun-daun mampu berfotosintesis. Agar hangat bisa menjalari setiap jengkalnya. Aira rindu rasa itu. Kini setiap pagi bagai serupa. Dingin. Walau matahari bersinar terik. Mataharinya telah lama mati. Tersisa Aira yang tak sanggup merelakan kenangan. Ia terperangkap kala hujan membaurkan sekat pada kenyataan.

Aku masih berdiri. Terpaku. Tak sanggup beranjak meninggalkan Aira dengan semua perih yang ia telan sendiri. Matanya sembab. Pandangannya kosong. Aira sesekali menghela napas panjang. Lalu memejamkan mata.

Perih, luka, dan sakit itu semestinya menguatkan. Tapi Aira malah berkutat pada nyeri yang tak kunjung usai. Ia tak butuh pelukan. Ia sudah lupa apa rasanya kecupan. Yang ia ingat adalah bagaimana kesepian selalu menyergap kekuatan yang tak pernah sanggup ia bangun.

Hujan tiba-tiba turun. Aira menengadahkan kepala ke langit. Menerima dengan tulus rintikan air yang membasahi wajah layunya. Rintik yang kemudian menyentuh tanah seiring air mata yang sudah deras sedari tadi.

Aku melangkah mendekati Aira. Matanya semakin merah. Aku dapat melihat bibirnya gemetar kedinginan. Kulit tangannya hampir beku dan memucat. Aku lalu membelai rambut yang tak lagi bisa kubelai. Mengecup bibir yang tak lagi bisa kukecup. Merengkuh tubuh yang sama sekali tak lagi bisa tersentuh. Aku berbisik padanya...




“Apa perasaanmu kini Aira? Percayalah bahwa matahari selalu bisa menghangatkan. Itu janjinya pada semesta. Seperti ia yang kelak datang dalam hidupmu. Matahari lain, Aira. Matahari lain yang dapat memberi lagi sekat antara kenangan dan kenyataan....”

“Karena kenangan pada kenyataan itu berada dalam satu ruang yang terpisah oleh sekat tipis. Ia mampu luruh oleh hujan yang tiba-tiba datang. Maka ketika batas itu menjadi samar, jangan sampai kenangan mengurungmu dalam ingatannya. Berjalanlah walau tertatih atau sesekali kau harus tersungkur. Hidup tetaplah hidup. Dan kenangan harus selalu tersimpan rapi dalam tempat semestinya. Tengoklah ia sesekali. Untuk meyakinkan kau pernah indah berada di dalamnya. Bahwa semua perih, luka, kecewa, kehilangan, tawa dan bahagia ternyata mampu menguatkan. Selalu menguatkan.”

Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP